HMPS IAT IAIN Kendari Motivasi Mahasiswa Lanjutkan Jenjang Pendidikan Melalui Seminar Beasiswa LPDP

Kendari, Objektif.id— Suasana Seminar di Aula Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah(FUAD) tampak ramai didatangi oleh Mahasiswa yang antusias mengikuti kegiatan seminar yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari Pada sabtu siang, 21 Juni 2025, yang mengusung tema: “Menjemput Mimpi, Membangun Negeri: Strategi Sukses Meraih Beasiswa LPDP.” Kegiatan ini diselenggarakan sebagai upaya membekali mahasiswa dengan wawasan serta strategi konkret untuk mendapatkan beasiswa prestisius dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Seminar ini menghadirkan Safril, sebagai  narasumber yang telah berpengalaman dan sukses mendapatkan beasiswa LPDP, yang akan membagikan langsung kisah, kiat, serta tantangan dalam proses seleksi hingga menjalani studi lanjutan melalui skema beasiswa tersebut.

Acara ini dipandu oleh Riyan Ade Nugraha sebagai moderator, dan Nadya Mutmainna Thamrin sebagai MC, yang keduanya merupakan mahasiswa aktif dari program studi yang sama.

Dengan semangat membangun negeri melalui pendidikan, seminar ini diharapkan dapat menjadi ruang motivasi sekaligus bimbingan praktis bagi para peserta. HMPS IAT menegaskan bahwa seminar ini merupakan bagian dari komitmen mereka dalam menciptakan atmosfer akademik yang progresif dan produktif dalam mendukung mahasiswa menapaki jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Pelajar Indonesia yang bercita-cita melanjutkan studi S2 atau S3, baik di dalam negeri maupun luar negeri, maka kamu wajib mengenal beasiswa LPDP program unggulan dari Kementerian Keuangan. Sebagai salah satu beasiswa paling banyak diminati, LPDP memberikan dukungan penuh bagi pendidikan pascasarjana. Mulai dari biaya kuliah hingga tunjangan hidup bulanan, termasuk kebutuhan sehari-hari seperti makan, transportasi, asuransi, dan lain sebagainya, semuanya ditanggung.

Beasiswa LPDP merupakan inisiatif dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang menyediakan pembiayaan penuh untuk jenjang pascasarjana, baik di dalam maupun luar negeri. Program ini menjadi dambaan banyak pelajar karena cakupannya yang komprehensif.

Safril menjelaskan bahwa LPDP tidak memprioritaskan kampus tertentu dalam proses seleksi penerima beasiswa. “Selama kampus tujuan memenuhi syarat dan standar yang ditetapkan oleh LPDP, baik di dalam maupun luar negeri, maka setiap pelamar memiliki peluang yang sama besar,” katanya.
Ia juga menekankan bahwa yang menjadi fokus utama adalah kesiapan individu baik dari segi akademik, komitmen pengabdian, hingga kelayakan rencana studi.

Tujuan utama LPDP adalah mencetak pemimpin profesional masa depan yang berdaya saing tinggi serta berkomitmen kuat pada kemajuan bangsa. LPDP tak hanya mendukung pendidikan, tapi juga mendorong lahirnya inovator, pemimpin, dan agen perubahan yang mampu membawa dampak nyata bagi Indonesia.

Beasiswa LPDP kerap menjadi pintu emas yang dinanti generasi muda Indonesia untuk melanjutkan pendidikan tinggi di luar negeri. Program yang dikelola oleh Kementerian Keuangan ini tak hanya menawarkan pendanaan penuh, tetapi juga simbol meritokrasi bahwa siapa pun yang memiliki kompetensi, visi, dan integritas, berhak mendapat dukungan negara untuk menuntut ilmu di kampus-kampus terbaik dunia.

Namun, semangat itu baru-baru ini mendapat sorotan tajam dari publik. Kabar mengenai diterimanya Mutiara Annisa Baswedan, putri dari mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, sebagai penerima beasiswa LPDP untuk program magister di Harvard University, memicu perdebatan luas di ruang publik. Warganet mempertanyakan objektivitas proses seleksi LPDP, memunculkan dugaan adanya keistimewaan sosial-politik yang menyusup dalam sistem seleksi yang seharusnya transparan dan berbasis prestasi.

Meski begitu, pihak LPDP menyampaikan semua proses telah sesuai prosedur, dan Mutiara dinilai layak dari sisi akademik maupun personal statement. Namun di sisi lain, banyak yang menilai bahwa kasus ini mencerminkan persoalan lebih besar yaitu bagaimana persepsi publik terhadap keadilan dalam distribusi sumber daya negara, terutama dalam konteks beasiswa bergengsi yang dananya bersumber dari APBN.

Menanggapi polemik yang berkembang, Dede Shalihin Rabil, atau biasa disapa Abil, selaku ketua HMPS IAT menjelaskan, beasiswa yang diterima Mutiara Baswedan adalah sesuatu yang patut dihargai, bukan dicurigai. “Ini adalah sesuatu yang memang harus kita terima sebagai bagian dari prinsip meritokrasi. LPDP menilai berdasarkan kapasitas, bukan latar belakang keluarga atau status sosial. Selama proses seleksi berjalan objektif dan transparan, maka siapa pun berhak mendapatkan kesempatan yang sama,” ujarnya.

Melalui seminar ini, HMPS IAT IAIN Kendari berharap dapat menumbuhkan semangat juang  dan kesiapan intelektual mahasiswa dalam meraih peluang beasiswa, khususnya LPDP. Kegiatan ini tidak hanya memberikan informasi teknis, tetapi juga menggugah kesadaran bahwa pendidikan tinggi bukan semata tentang prestise, melainkan tentang kontribusi nyata bagi bangsa. Dengan akses dan bimbingan yang tepat, mahasiswa dari berbagai penjuru daerah memiliki peluang yang sama untuk melangkah lebih jauh dan membawa perubahan positif bagi Indonesia.

Lebaran di Tanah Rantau

Hari yang dinanti dengan penuh harap,
dibalut persiapan yang tak kenal lelah.
Hari yang bermekaran dengan sukacita,
di tengah hangatnya kebersamaan sanak saudara.

Namun, kini aku hanya terdiam sepi,
di ruangan kosong bersama bayangan itu,
menatap langit malam,
sembari sesekali berharap dia datang memelukku.

Rasanya asing,
ruangan yang biasanya penuh suara
kini hanya menciptakan kesunyian.

Barang-barang tak lagi di tempatnya,
perintah yang biasanya tak ada habisnya
menghilang tanpa jejak.

Kini, wangi buras buatan ibu tak lagi memenuhi ruangan.
Senyum hangat ayah hanya hidup dalam layar yang membatasi jarak.
Begitu pula tawa para penghuni rumah,
tak lagi menggema,
menyisakan bunyi layar yang setia menemani.

Di tanah orang, Lebaran telah tiba,
meninggalkan bayang-bayang rindu yang menggema.
Jauh dari ibu, ayah, dan saudara tercinta,
melangkah di jalan kedewasaan yang penuh ujian.

Kerinduan ini tak tertahankan,
memenuhi relung hati tanpa jeda.
Ingin rasanya pulang, mengikis jarak yang membentang,
menatap wajah-wajah penuh cinta, merengkuh senyumnya,
tenggelam dalam dekatnya yang menenangkan.

Namun lagi-lagi, ini hanyalah angan,
mengambang di ujung harap,
meninggalkan jejak pilu yang menyiksa.

PBAK IAIN Kendari Terancam Tidak Terlaksana Akibat Efisiensi Anggaran

Kendari, Objektif.id – Pelaksanaan Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) di IAIN Kendari tahun ini sempat menjadi sorotan karena berpotensi tidak terlaksana. Kegiatan yang seharusnya menjadi pintu gerbang mahasiswa baru memahami dunia kampus kini dihadapkan pada tantangan besar, efisiensi anggaran yang berdampak pada ketidakjelasan pelaksanaan PBAK.

Sebagai institusi pendidikan, IAIN Kendari memang patut diapresiasi atas upayanya mengikuti aturan dari pemerintah terkait efisiensi anggaran menjaga pengelolaan keuangan yang sehat. Akan tetapi kebijakan itu tidak boleh mengorbankan hak mahasiswa baru untuk mendapatkan pengenalan yang memadai terhadap lingkungan akademik dan kemahasiswaan.

Dalam beberapa tahun terakhir, PBAK di IAIN Kendari selalu menjadi momen penting. Mulai dari pelaksanaan tatap muka hingga inovasi terbaru dengan memanfaatkan teknologi metaverse. Namun, ketika ada indikasi pelaksanaan PBAK belum jelas akibat efisiensi anggaran maka muncul pertanyaan, apakah efisiensi harus dibayar dengan pengurangan terhadap pemenuhan hak-hak mahasiswa?

Objektif sempat juga menanyakan terkait dinamika struktur kepanitiaan PBAK kepada Satuan Pengawas Internal (SPI), yang mempunyai peran dalam memastikan efektivitas dan efisiensi pengelolaan kampus, baik secara akademik maupun non-akademik serta melakukan pengawasan internal untuk menjamin pengelolaan sumber daya, mencegah penyimpangan, dan memastikan tata kelola yang baik. Mempertanyakan persoalan PBAK kepada pihak SPI bukanlah suatu yang berlebihan apabila melihat peran dan tugasnya. Menanggapi pertanyaan dari Objektif, Lily Ulfia, yang merupakan Sekretaris SPI mengatakan bahwa mengenai pelaksanaan PBAK itu masih belum ada susunan kepanitiaannya, “Waduh, masih lama itu PBAK nak”, kata Lili melalui pesan pendek di aplikasi perpesanan, pada Senin, 21 April 2025.

Pada tahun 2024, jumlah peserta PBAK meningkat menjadi 1.566 mahasiswa baru yang berlangsung selama empat hari, mulai dari 14 hingga 17 Agustus, dengan berbagai inovasi seperti pengenalan kampus melalui teknologi metaverse. Hal ini menunjukkan bahwa IAIN Kendari terus berupaya memberikan pengalaman terbaru bagi mahasiswa baru, meski di tengah tantangan dan dinamika dunia pendidikan yang terus berubah.

pengenalan lembaga eksternal Himpunan Mahasiswa Islam terhadap mahasiswa baru Tahun 2024 di Ballroom Multimedia IAIN Kendari

Namun, di balik semangat inovasi dan peningkatan jumlah peserta, muncul isu efisiensi anggaran yang berpotensi mengganggu kejelasan pelaksanaan PBAK Tahun 2025. Efisiensi anggaran memang menjadi kebutuhan di era transparansi dan akuntabilitas keuangan publik. Institusi pendidikan seperti IAIN Kendari dituntut untuk bijak dalam mengelola keuangan, termasuk dalam menyelenggarakan kegiatan kemahasiswaan.

Seharusnya efisiensi tidak boleh menjadi alasan untuk mengurangi kualitas atau substansi dari hak-hak mahasiswa termasuk pelayanan mendapatkan momentum PBAK. Mahasiswa baru berhak mendapatkan pengenalan yang komprehensif terhadap lingkungan akademik, budaya kampus, dan sistem kemahasiswaan. Jika pelaksanaan PBAK terhambat atau tidak jelas akibat efisiensi anggaran, bukan tidak mungkin mahasiswa baru akan kehilangan hal penting untuk beradaptasi dan membangun jejaring di kampus.

Wakil Rektor tiga Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari, Sitti Fauziah M, turut menjelaskan bahwa pelaksanaan PBAK belum ada kejelasan dan belum ada arahan dari pusat akibat kebijakan efisiensi anggaran, “untuk PBAK itu kami belum mendapat arahan dari pusat dan akibat efisiensi anggaran juga ini akan menjadi tugas yang berat dan harus menentukan tempat pelaksanaan PBAK”, ujar Fauziah kepada Objektif, Rabu, 30 April 2025.

Menanggapi itu, Ketua Dema IAIN Kendari Muhammad Abdan, menyatakan bahwa isu pembatalan pelaksanaan PBAK merupakan bentuk pembunuhan karakter yang dilakukan Negara dan kampus kepada mahasiswa baru. Menurutnya, keputusan tertundananya kegiatan pelaksanaan PBAK atas dasar efisiensi mencerminkan ketidakpekaan kampus terhadap pembinaan mahasiswa baru. “PBAK bukan hanya sekadar rutinitas tapi bagian penting pembentukan karakter, pemahaman budaya akademik,” katanya saat dihubungi Objektif, Sabtu, 24 Mei 2025.

PBAK bukan sekadar seremoni. PBAK adalah proses pembentukan karakter akademik, pengenalan nilai-nilai kampus, dan jembatan sosial antara mahasiswa baru dan lingkungan akademiknya. Kegiatan ini menjadi fondasi awal bagi mahasiswa untuk beradaptasi dan berprestasi di lingkungan baru. Jika pelaksanaannya terhambat atau tidak jelas, bukan tidak mungkin mahasiswa baru akan kehilangan momentum penting dalam perjalanan akademiknya.

salah satu pleton mahasiswa baru di depan Kantor UKM Pers IAIN Kendari

Kampus harus mampu menyeimbangkan antara efisiensi anggaran dan kebutuhan mahasiswa. Efisiensi tidak boleh menjadi alasan untuk mengurangi hak mahasiswa baru mendapatkan pengalaman PBAK yang bermakna. IAIN Kendari, sebagai kampus yang terus berinovasi, sebaiknya memastikan bahwa setiap pengurangan anggaran tidak mengorbankan kegiatan yang berorientasi pada pemenuhan hak kegiatan mahasiswa. Jangan sampai alasan efisiensi anggaran mengaburkan tujuan utama pendidikan dalam menciptakan mahasiswa yang siap menghadapi tantangan zaman dengan bekal pengenalan kampus yang utuh dan kritis.

PBAK adalah momen sakral dalam perjalanan akademik mahasiswa yang akan menjadi fondasi bagi pembentukan karakter, semangat belajar, dan jiwa kepemimpinan di masa depan. IAIN Kendari, sebagai kampus yang terus berupaya mengupgrade secara kelembagaan diharapkan dapat menemukan solusi kreatif agar efisiensi anggaran tidak menjadi hambatan untuk memperkuat solidaritas dan kreativitas sivitas akademika.

Pada akhirnya, kualitas pendidikan tidak hanya diukur dari efisiensi anggaran, tetapi juga dari komitmen kampus dalam memastikan setiap mahasiswa baru mendapatkan haknya pada kegiatan-kegiatan kemahasiswaan.

Kita Tidak Butuh Banyak

Persma selamanya. Ya, pers mahasiswa Objektif akan tetap abadi bahkan ketika gerakannya hanya dimotori oleh segelintir orang. Aku mungkin tidak selama para senior yang lebih dulu masuk dalam organisasi yang bekerja pada ruang-ruang jurnalistik ini. Aku sendiri bergabung sejak tahun 2021, dengan usia semester yang masih belia. Memang bukan pilihan yang lazim selayaknya kebanyakan mahasiswa untuk masuk ke dunia organisasi. Untungnya aku tidak sepengecut mereka, yang tersandera oleh stigma masyarakat bahwa organisasi itu merupakan tempat yang kumuh tak bermanfaat dan penuh kekerasan. Ironisnya, perbuatan durjana oknum dianggap sebagai kesimpulan utuh atas kondisi dari sebuah organisasi.

Berproses di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers Objektif adalah sesuatu yang awalnya tak aku seriusi. Berbagai metode pembentukan karakter dan jalan intelektualnya adalah sesuatu yang baru kudapatkan, tentu hal itu yang membuat anak kampungan seperti aku yang jauh dari kultur aktivisme mahasiswa seperti membaca, menulis dan diskusi, merasa tak sanggup untuk mudah beradaptasi.

Sekali lagi, bahwa itu memang bukan sesuatu yang mudah. Tapi dengan cara-cara keras (bukan kasar dan tidak bersifat komando) itulah yang menciptakan manusia-manusia tangguh, yang tidak manja, tolol dan feodal. Andai kata pedang, ia harus ditempa dengan sekuat dan sekeras-kerasnya agar menghasilkan ketajaman yang optimal. Bahwa hasil dari proses keras itu tidak menjadikan aku sebagai mahasiswa berprestasi bukan sebuah masalah bagiku, justru aku sangat bangga dengan kesibukan yang menuntunku jatuh cinta pada demonstrasi, kajian isu, hingga liputan yang mengusik kepentingan-kepentingan manusia lainnya atas segala kemudaratan perbuatannya.

Dengan berbagai aktivitas kemahasiswaan seperti itu yang tidak banyak ditempuh oleh orang lain, aku kemudian membuat kesimpulan yang mungkin terkesan subjektif, “bahwa dalam kampus kita bukan hanya sekadar mengejar juara apalagi gelar sarjana semata lebih daripada itu kita harus menjadi manusia.” Manusia yang peka terhadap persoalan masyarakat arus bawah, yang lantang bersuara pada ketidakadilan, serta memutus rantai perbudakan dari kebijakan-kebijakan politik yang bangsat.

Menjadi kader UKM Pers merupakan ketidaksengajaan yang tidak akan aku sesali. Bahwa perlawanan dan keragu-raguan yang menjadi dasar kerja-kerja jurnalistiknya harus betul-betul diresapi oleh setiap anggotanya. UKM Pers tidak boleh hanya sekadar menjadi organisasi penampung manusia yang tak punya keberanian apalagi kehilangan perspektif. Dalam banyak momentum penerimaan anggota, aku melihat standar perekrutan yang dipakai masih cenderung memakai tolak ukur kekerabatan relasi yang tidak berbasis pada kompetensi. Akibatnya, organisasi hanya melahirkan kuantitas secara berlebihan yang jauh dari ideologi pers mahasiswa.

Tidak berlebihan kiranya jika aku menyampaikan kegalauan pada organisasi yang telah berhasil melahirkan kader-kader keder yang masuk karena ingin numpang tenar atau menjadikan UKM Pers sebagai batu loncatan untuk mencapai sisi-sisi yang lain dalam menunjang karir dan kepentingan pribadi mereka. Hari ini aku ingin menyampaikan secara gamblang, sudah cukup sekian lamanya organisasi tidak menyiapkan kader yang sigap dan kuat melanjutkan kerja-kerja pers mahasiswa yang sesungguhnya. Harus diakui jujur, mayoritas kader dan alumni UKM Pers tidak paham sejarah perjuangan pers mahasiswa sebagaimana yang telah diulas dalam buku putih Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).

Padahal sejatinya gerakan pers mahasiswa dipandu pada tiga pokok kultur, yang pertama adalah kesadaran historis yang menempatkan sejarah perjuangan pers mahasiswa sebagai penguatan organisasi melalui karya jurnalisitknya yang menjadi bagian penting dalam laku hidup pergerakannya yang berorientasi kerakyatan. Kedua, adalah memahami pola gerakan pers mahasiswa disesuaikan dengan kebutuhan zaman yang tidak terlepas dari kesulitan-kesulitan yang harus siap diterima oleh mereka yang berkecimpung di organisasi pers mahasiswa. Ketiga, kesadaran praktis dalam melihat kondisi organisasi yang terbengkalai karena kemunduran wawasan dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik.

Sebagai pimpinan redaksi di periode kepengurusan tahun ini aku prihatin dan khawatir. Prihatin ketika pengurus masih menerapkan standar perekrutan kader baru berbasis kuantitas, sekaligus khawatir secara keorganisasian jika masih memperpanjang ruang keistimewahan pada mereka yang tak bisa dan tak mau menulis. Bukankah itu sebuah aib nyata yang sedang dipelihara. Haruskah kita menormalisasi anomali itu? Aku pikir tidak, mengamini itu sama halnya menghianati nilai-nilai dari ideologi pers mahasiswa itu sendiri.

Model kader surplus gaya minim karya selalu lebih banyak daripada mereka yang tulus berbuat mempersembahkan produk jurnalistiknya pada publik. Dari puluhan manusia yang direkrut disetiap angkatan pada akhirnya hanya menjadi tumpukan “kotoran” yang tidak bisa diberdayakan selain dibersihkan. UKM Pers Objektif IAIN Kendari tidak lahir dari ruang kosong dan hampa. Ia lahir dari rahim perjuangan yang panjang. Jejak perlawanannya tercatat disetiap lembar liputannya. Sudah saatnya membersihkan kader yang tak cakap dalam menulis dan tak punya keberanian untuk melawan demi kepentingan publik termasuk melawan intervensi alumni dalam agenda liputan dan penerbitan.

Secara kolektif kita harus sepakat saat dinamika kampus dan problem kebangsaan yang terus bergejolak, pers mahasiswa hadir sebagai salah satu ruang yang meramu ide-ide visioner, berteriak dengan lantang, mempertaruhkan jiwa raganya dalam memperjuangkan kebenaran dan kepentingan publik. Akan tetapi, seiring waktu, wajah dari kader pers mahasiswa kita malah jauh bergeser dari arah garis membela mereka yang tertindas, menjadi corong bagi suara yang dibungkam, serta menghidupi nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan kebenaran. Begitu sangat nampak bagaimana kegugupan untuk kritis serta menghasilkan produk jurnalistik telah disarangi oleh kemalasan. Banyak dari anggota tidak lagi mengetahui atau merasakan ruh perjuangan pers mahasiswa. Mereka lebih sibuk dengan algoritma media sosialnya yang membuat apatis ketimbang mengimplementasikan apa yang menjadi perannya sebagai jurnalis media alternatif.

Disinilah pentingnya menata ulang arah. Bahwa regenerasi yang sehat membutuhkan sistem kaderisasi yang kuat, tidak memanjakan kader, membentuk kualitas bukan sekadar militansi. Jika definisi dari nama pers dan mahasiswa itu berat dan mulia karena didalamnya terkandung spirit intelektualitas (kritis), kemanusiaan
(keberpihakan pada moral dan etika), kerakyatan (keberpihakan
dan kepedulian pada rakyat bawah), kebangsaan (demokratisasi
dan kemartabatan negeri), dan pers mahasiswa yang
independen. Maka dengan demikian buat apa secara keorganisasian kita masih mempertahankan kader yang tak tahu berbuat apa saat tergabung dalam pers mahasiswa.
Lagi-lagi di dalam nama “pers mahasiswa”, terkandung beban sejarah dan semangat perjuangan. Ia adalah wujud dari keberpihakan. Berpihak kepada rakyat kecil, pada etika dan nurani, pada proses demokratisasi, serta pada martabat bangsa. Maka tak berlebihan bila menempatkan pers mahasiswa sebagai kekuatan independen yang kritis terhadap segala bentuk penyimpangan.

Dalam kegusaranku menulis di ruang redaksi yang hening, disaksikan tembok yang kusam dan tumpukan buku di rak, aku sadar satu hal—bahwa perubahan tidak datang dari langit. Ia harus mulai dari yang kecil; membongkar masalah lebih jujur, menyusun ulang pola kaderisasi, kemudian mewariskannya dalam bahasa generasi kini dan selanjutya. Aku tahu berat, tapi siapapun itu tak ingin menjadi manusia yang menyerah dalam diam. bahwa yang paling penting kita tidak butuh banyak, kita butuh yang tidak gagap untuk berbuat. Mereka yang tidak aktif tidak perlu dilibatkan. yang tidak serius buat apa dikasih ruang. Pengurus organisasi harus tahu batas dan tahu diri, jika anggota tidak menganggap penting pers mahasiswa maka secara kelembagaan harus memperlakukan hal yang sama.

Mudarat Hukum Kolonialisme Indonesia di Papua

Syukur bagimu Tuhan Allah Maha Kudus, Alam Semesta, dan Leluhur Bangsa Papua yang senantiasa memberikan kehidupan bagi saya agar terus berjuang menegakan keadilan, kebenaran, kejujuran, di hadapan Hukum Kolonialisme Indonesia. Namun keadlian tak lagi kunjung, kebenaran dijual belikan, kejujuran menjadi sampah kehidupan bagi parasit- parasit oligarki yang memegang kendali kekuasaan.

Dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan kejujuran dan kebenaran fakta kejadian atas penggusuran paksa yang di lakukan oleh Militerisme TNI/POLRI, panitia Pekan Olahraga Nasional (PON) 2021, dan Lembaga Universitas Cenderawasih (Uncen). Mereka adalah aktor kejahatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua, terlebih khusus terhadap mahasiswa Papua, pada 2021 yang digusur paksa dengan kekuatan Militer TNI/POLRI mengunakan dalil untuk penempatan atlet PON dan renovasi asrama.

Pada faktanya di Tanah Papua, kebenaran selalu di jual belikan antara Hakim dan Pemodal demi melanggengkan kepentingan akumulasi modal tetapi saya salah satu dari sekian ribu orang Papua tidak pantang menyerah atas segala bentuk kejahatan HAM yang terus terjadi di Tanah Papua. Pelanggaran HAM yang terjadi pada tanggal 21 Mei 2021 lalu adalah luka yang tidak akan pernah sembuh, karena saya sebagai salah satu korban penggusuran paksa yang tidak pernah mendapatkan keadilan, kebenaran, dan kejujuran di hadapan Hukum pengadilan Abepura Kota Jayapura Papua. Dalam persoalan pelanggaran HAM, kami nilai terjadi pelanggaran hak atas pendidikan, pelanggaran hak atas tempat tinggal yang layak dilakukan oleh Kampus UNCEN merupakan bentuk pelanggaran ganda. Mahasiswa selama 5 tahun telah ditelantarkan tanpa kepedulian pihak kampus hak atas pendidikan dan hak atas tempat tinggal yang layak.

Saya masih ingat sekali, pada tanggal 21 Mei 2021 pukul 09.00 WIT. Yang mengepung duluan di Asrama Universitas Cenderawasih (UNCEN) Rusunawa itu ribuan Militer gabung TNI/POLRI, yang mengunakan peralatan perang dengan lengkap. Militer TNI/POLRI kepung membuat seluruh penghuni asrama mahasiswa kaget, dan mereka begitu tiba bicara mengunakan megaphone bersifat himbauan darurat dengan menyampaikan “kepada seluruh penghuni asrama agar segera tinggalkan tempat dan keluar dari lingkungan asrama Rusunawa dan asrama Unit 1 – Unit 6 dengan alasan, ini perintah Rektor Apolos Safanpo.”

Mereka memberikan waktu untuk menyimpan barang–barang mahasiswa hanya satu jam, setelah waktu satu jam berakhir TNI/POLRI masuk menggrebek asrama mengunakan senjata membongkar pintu–pintu kamar mahasiswa. Setelah itu tidak lama kemudian eskafator tiba dan langsung memutuskan tangga–tangga gedung asrama, dan seluruh penghuni di kumpulkan di depan halaman Bola Volly dan Bola Futsal. Beberapa pengurus asrama dan saya selaku penghuni yang memimpin massa mahasiswa ingin bernegosiasi tetapi kami dipukul babak belur oleh TNI/POlRI, mereka beralasan bahwa “sekarang bukan waktunya kita negosiasi tetapi sekarang waktunya untuk kalian keluar meninggalkan Asrama”.

Pada saat itu juga beberapa penggurus asrama ditarik paksa kasih keluar dari lingkaran massa mahasiswa ke jalan besar karena dengan alasan memprovokasi massa mahasiswa, termasuk Lembaga Bantun Hukum (LBH) Papua tidak diberikan izin untuk masuk kedalam lingkungan asrama. Saya masih ingat sekali pada waktu itu Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobai, ditarik oleh Polisi untuk dikeluarkan dari lingkungan asrama tetapi pada waktu itu karena masa ribut akhirnya Polisi biarkan Emanuel masuk bicara dengan mahasiswa korban penggusuran paksa.

Militer TNI/POLRI menjadi dalang pelanggaran HAM berat dalam kasus ini, pada saat proses penggusuran paksa asrama mahasiswa Uncen, dengan watak arogansinya waktu itu membungkam seluruh ruang gerak dan ruang untuk berpendapat kami sebagai penghuni asrama mahasiswa. Waktu itu situasi kami di bawah kendali militerisme TNI/POLRI karena seluruh ruang gerak dan ruang untuk menyampaikan pendapat penghuni di bungkam habis dengan alasan mereka bahwa sekarang bukan waktunya kami bicara tetapi sekarang waktunya kalian menyimpan barang dan keluar dari asrama. Pada saat situasi pengusuran berlangsung, hampir seluruh penghuni menangis, dan hal itu membuat saya dan beberapa penggurus asrama mulai membawah keluar seluruh massa mahasiswa dengan satu sikap kita secara spontan bahwa “Mogok Pendidikan di Uncen.”

Setelah kami di keluarkan dari asrama kami seluruh penghuni Asrama, malamnya duduk diskusi di punggir jalan raya, ada beberapa kesimpulan yang kami dapat dari diskusi yaitu sebagai berikut:
1. Kami sepakati membentuk posko umum di depan Asrama Rusunawa Uncen dan beberapa sektor posko.
2. Kami malam itu juga membentuk struktur posko yang diketuai Fredi Kogoya dan Sekretaris saya sendiri Varra Iyaba, dan penanggung Jawab Devanus Siep dan David Wilil selaku Badan Pengurus asrama.
3. Kami malam itu sepakati secara kolektif untuk menempu jalur hukum agar kita buktikan di pengadilan.
4. Kami juga mengumpulkan data korban alat–alat mahasiswa dan mengambil data seluruh mahasiswa yang mengalami korban pengusuran paksa.

Kemudian setelah itu persoalan penggusuran paksa asrama mahasiswa, kami secara resmi memberikan kuasa penuh kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua sebagai pendamping hukum kami. Proses hukum tentang kasus penggusuran di pengadilan semakin tidak jelas, terkesan hakim dan pihak Uncen berselingku di atas mimbar pengadilan serta mempelacurkan hukum kolonialisme. Kami korban penggusuran menunggu kepastian hukum tentang keadilan, kebenaran, dan kejujuran dari sejak 2021 hingga kini 2025 belum ada tanda kemenangan, dan kebenaran menjadi buram di pengadilan.

Setiap persoalan baik itu persoalan politik, Sosial, ekonomi, dan budaya yang dialami boleh umat manusia di dunia memiliki kerinduan yang sama tentang kedamaian, keadila, kebenaran, dan kejujuran di hadapan hukum baik itu hukum negara maupun hukum adat. Kami mahasiswa korban penggusuran paksa asrama Uncen memiliki keinginan tentang keadilan, kebenaran, dan kejujuran oleh hakim yang mulia di pengadilan, namun keadilan tidak lagi mengharumkan bagi korban.

Kami sebagai mahasiswa korban penggusuran paksa merasakan dan menyatakan dengan jujur bahwa hukum di Indonesia berlaku untuk pemodal atau orang yang memiliki uang, hakim berselingku dengan pelaku dan memberikan perlindungan hukum terhadapnya.Walaupun keadilan, kebenaran, dan kejujuran terlihat buram di pengadilan tetapi semangat kami akan terus berkobar sepanjang massa di jalan pemberontakan.

Setiap orang memiliki kerinduan untuk mendapatkan keadilan maka dengan itu mahasiswa korban penggusuran paksa asrama Uncen melimpahkan kasus dengan harapan yang sama yaitu menuntut keadilan. Kami juga menuntut agar Pengadilan Negeri Abepura memberikan efek jerah terhadap pihak kampus Uncen yang telah melakukan praktik – praktek yang melanggar HAM, dan melanggar hak atas pendidikan, dan juga melanggar hak atas tempat tinggal mahasiswa yang layak.

Oleh karena itu kami menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Kami mendesak kepada pihak Uncen agar segera bertanggung jawab atas segala bentuk kerugian mahasiswa yang mengalami korban penggusuran paksa, pada 21 Mei 2021 lalu di Rusunawan Kamwolker Perumnas lll Waena Kota Jayapura Papua.
2. Kami mendesak kepada Pengadilan Negeri Abepura Kota Jayapura agar segera mempercepat proses hukum dan juga harus memberikan kepastian hukum kepada mahasiswa korban penggusuran paksa asrama Uncen.
3. Kami mendesak kepada panitia PON 2021 dan Pemerintah Provinsi Papua agar segera bertanggung jawab atas penggusuran paksa asrama mahasiswa Uncen.
4. Kami meminta kepada Negara Indonesia agar segera tangkap dan adili mantan Rektor Uncen Apolos Sanfapo selaku pelaku yang memerintahkan penggusuran paksa asrama mahasiswa.

Kami sebagai manusia yang mengalami korban penggusuran paksa asrama mahasiswa Uncen, merindukan kemenangan, keadilan, kebenaran, dan kejujuran. Kami juga memiliki kerinduan untuk di hargai atas suara teriakan kami dari waktu – kewaktu dan kini sudah 5 tahun lamanya. Walaupun suara kami tak lagi didengar, dan tetesan air mata kami tak diperdulikan, tetapi kami akan eksis menanam beni pahit ini di setiap lahan baru agar api pemberontakan tetap menyala di setiap waktu.

Rusunawa 21 Mei 2021 – 21 Mei 2025

penulis: Varra Iyaba

Ketua Dema FEBI IAIN Kendari Nilai RUU TNI Bentuk Perampasan Supremasi Sipil

Kendari, Objektif.id – Gelombang kritik terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) Nomor 34 Tahun 2004 masih terus bergulir. Kali ini, suara penolakan datang dari Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari, Febrian, yang dengan lantang menegaskan bahwa regulasi tersebut merupakan pembajakan terhadap supremasi sipil yang berpotensi mengancam ruang demokrasi yang bukan bagian dari manifestasi kepentingan publik.

Dalam pernyataan resminya, Febrian menilai bahwa pengesahan RUU TNI menjadi Undang-undang oleh DPR RI bertentangan dengan aspirasi masyarakat. Dan itu dibuktikan dengan berbagai penolakan dari berbagai elemen masyarakat yang mengkritik pasal-pasal dalam regulasi tersebut yang dinilai membuka peluang bagi TNI untuk lebih leluasa berkiprah di ranah politik dengan cara memanfaatkan ruang sipil yang dilegitimasi melalui undang-undang.

“Kami menolak hasil rancangan UU TNI ini karena tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat serta berpotensi mengganggu supremasi sipil. TNI harus tetap fokus pada tugas utama mereka dalam menjaga pertahanan negara,” tegasnya, Sabtu, 22 Maret 2025.

Dengan demikian Ini tentu sangat bertentangan pada semangat reformasi yang jelas-jelas berupaya memisahkan peran militer dari urusan sipil dalam pemerintahan. Sementara kita tahu bahwa dalam demokrasi yang sehat, supremasi sipil adalah prinsip utama yang memastikan bahwa militer tetap berada di bawah kendali institusi demokratis yang fokus pada pertahanan dan tidak memiliki otonomi dalam menentukan kebijakan publik.

Sehingga berdasarkan anomali ini publik menilai bahwa pengesahan RUU itu bukan hanya bertentangan dengan aspirasi masyarakat, tetapi juga menunjukkan kecenderungan pemerintah untuk menghidupkan kembali pola lama di mana militer memiliki peran dominan dalam kehidupan bernegara.

Oleh karena itu, kekhawatiran Febrian bukan tanpa alasan. Sebab sejarah mencatat bagaimana kelamnya pemerintahan Orde Baru (Orba) memanfaatkan kekuatan militer dalam pemerintahan untuk mengontrol hampir seluruh aspek kehidupan, menekan kebebasan sipil, dan membungkam oposisi.

Maka tak heran jika muncul ketakutan bahwa regulasi ini bisa menjadi pintu masuk bagi kembalinya praktik serupa. Padahal reformasi TNI yang dilakukan sejak 1998 sebenarnya bertujuan untuk menghapus keleluasaan militer yang kerap menjadi sumber penyalahgunaan wewenang kekuasaan dalam membungkam kemerdekaan berekspresi terhadap masyarakat sipil.

Lebih jauh, Febrian menggarisbawahi bahwa publik bukan hanya sekadar menolak, melainkan menyerukan agar dilakukan revisi komprehensif terhadap RUU TNI dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk akademisi dan aktivis. Karena menurutnya, regulasi ini harus dikaji ulang dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas agar tidak menjadi alat legitimasi bagi kepentingan kelompok tertentu.

“Mahasiswa dan masyarakat akan terus mengonsolidasikan gerakan penolakan secara kritis dalam mengawal kebijakan ini. Tak hanya itu kami juga meminta pemerintah dan DPR RI untuk membuka ruang diskusi yang lebih luas guna menghasilkan revisi yang lebih komprehensif,” ujarnya.

Pernyataan tegas dari Ketua Dema FEBI ini juga menjadi cerminan dari semakin besarnya peran mahasiswa dalam mengawal kebijakan negara. Febrian juga menegaskan bahwa pihaknya tidak akan tinggal diam jika kebijakan ini tetap berjalan tanpa perbaikan. Bahkan, ia membuka kemungkinan untuk menggelar aksi sebagai bentuk protes jika aspirasi masyarakat diabaikan.

“Kami akan terus memperjuangkan hak-hak rakyat Indonesia dan memastikan bahwa kepentingan serta aspirasi mereka tidak diabaikan. Jika diperlukan, kami siap menggelar aksi untuk menuntut revisi atas rancangan UU TNI ini,” pungkasnya.

RUU TNI seharusnya menjadi langkah maju dalam menjaga profesionalisme militer, bukan justru menjadi alat untuk mengembalikan dominasi militer dalam kehidupan sipil. Jika demokrasi ingin tetap berdiri tegak di negeri ini, maka supremasi sipil harus dijaga, bukan dikorbankan demi kepentingan segelintir elite yang jauh dari representasi kepentingan publik.

Editor: Harpan Pajar

Mahasiswa Apatis Berkedok Akademis?

“Bila rakyat tidak berani mengeluh itu artinya sudah gawat, dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah, kebenaran pasti terancam.” Ucap Widji Thukul, yang sekali lagi menjadi refleksi kolektif kepada kita semua. Bahwa suatu keadaan yang buruk haram hukumnya untuk diabaikan, apalagi didiamkan oleh mereka yang mengklaim diri sebagai mahasiswa dengan segala bentuk embel-embel penamaan heroiknya dan berbagai macam aktivitas akademisnya, yang katanya mempunyai misi pengabdian kepada rakyat.

Sejak dulu, mahasiswa selalu dianggap sebagai motor penggerak perubahan. Mereka adalah kaum intelektual yang memiliki daya kritis tinggi dan sering kali menjadi garda terdepan dalam berbagai gerakan sosial dan politik. Namun, realitas hari ini menunjukkan bahwa banyak mahasiswa justru semakin apatis terhadap persoalan sosial yang terjadi di sekitar mereka.

Fenomena ini terlihat jelas dalam berbagai isu yang merebak di masyarakat. Demonstrasi semakin sepi, diskusi-diskusi kritis berkurang, tradisi menulis yang mulai rapuh, dan ruang-ruang intelektual di kampus tak lagi seramai dulu. Bukan karena tidak ada isu penting, tetapi karena banyak mahasiswa memilih untuk tidak peduli.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), apatis adalah sikap tidak peduli, acuh tak acuh, atau masa bodoh. Sikap ini bisa muncul karena berbagai alasan, mulai dari rasa tidak percaya terhadap sistem, kekecewaan yang berulang, hingga rasa nyaman dalam dunia sendiri.

Dalam lingkup kampus, mahasiswa yang apatis cenderung tidak mau tahu terhadap isu-isu sosial, politik, atau bahkan persoalan di lingkungan akademiknya sendiri. Mereka lebih fokus pada kehidupan pribadi, tugas kuliah, atau sekadar mencari hiburan tanpa memikirkan dampak sosial yang lebih luas.

Padahal, mahasiswa diharapkan menjadi agen perubahan. Mereka bukan hanya generasi penerus bangsa tetapi juga kelompok yang memiliki kapasitas berpikir kritis dan mampu membawa solusi bagi persoalan masyarakat. Namun, ketika apatisme berkembang, harapan ini menjadi semakin kabur.

Sehingga muncul pertanyaan mengapa mahasiswa menjadi apatis? Sepertinya banyak mahasiswa merasa bahwa perjuangan mereka tidak akan membawa perubahan signifikan. Janji-janji politik yang tidak ditepati, korupsi yang terus terjadi, dan ketidakadilan yang berulang membuat mereka kehilangan kepercayaan terhadap sistem.

Selain itu, era digital tidak memberikan kemudahan akses informasi, banyak mahasiswa tidak tahu bagaimana menyaring informasi yang benar dan penting. Akibatnya, mereka lebih banyak mengonsumsi konten hiburan dibandingkan berita atau kajian sosial yang membangun kesadaran.

Ditambah dengan perkembangan teknologi membuat banyak mahasiswa lebih nyaman dalam dunianya sendiri. Media sosial, game, dan hiburan digital lainnya sering kali membuat mereka larut dalam kehidupan virtual, mengabaikan realitas sosial yang ada di sekitar mereka.

Mahasiswa juga menganggap politik sebagai ajang perebutan kekuasaan, penuh dengan korupsi dan janji-janji palsu. Hal ini membuat mahasiswa enggan terlibat atau bahkan sekadar memahami dunia politik, padahal keputusan-keputusan politik sangat mempengaruhi kehidupan mereka.

Sikap apatis mahasiswa bukan sekadar masalah individu, tetapi juga berdampak luas pada masyarakat. Ketika kaum intelektual tidak peduli, siapa yang akan mengawal kebijakan publik? Ketika mahasiswa memilih diam, siapa yang akan bersuara untuk rakyat kecil?

Akibat dari sikap ini, berbagai permasalahan sosial bisa semakin parah. Korupsi semakin merajalela tanpa ada yang mengkritisi. Ketidakadilan semakin menjadi tanpa ada yang berani melawan. Dan akhirnya, masyarakat semakin kehilangan harapan terhadap perubahan.

Meskipun terdapat tantangan besar, bukan berarti tidak ada cara untuk mengembalikan peran mahasiswa sebagai agen perubahan. Seperti diskusi, seminar, dan kajian sosial harus lebih sering diadakan agar mahasiswa terbiasa berpikir kritis dan memahami isu-isu penting yang ada di sekitarnya. Sekaligus Kampus harus menyediakan lebih banyak wadah bagi mahasiswa untuk berkontribusi, baik dalam organisasi, kegiatan sosial, maupun penelitian yang berdampak pada masyarakat.

Selain itu, mengubah cara pandang terhadap politik juga penting, politik bukan hanya soal kekuasaan, tetapi juga tentang bagaimana kebijakan dibuat dan dijalankan. Mahasiswa harus memahami bahwa keterlibatan mereka dalam politik bisa membawa perubahan yang lebih baik.

Kemudian bagaimana cara menggunakan teknologi dengan Bijak, bahwa media sosial dan teknologi digital seharusnya dimanfaatkan untuk menyebarkan kesadaran sosial, bukan hanya dijadikan sebagai hiburan semata, apalagi tempat sentimen dan ujaran kebencian diproduksi.

Dengan demikian mahasiswa adalah harapan bangsa yang Jika mereka memilih untuk diam dan tidak peduli, maka siapa lagi yang akan mengawal masa depan negeri ini? Apatisme bukanlah solusi, justru ia adalah ancaman bagi perubahan. Saatnya mahasiswa kembali pada perannya sebagai agen perubahan, menyuarakan kebenaran, dan berjuang untuk keadilan sosial. Sebab, seperti yang dikatakan Widji Thukul, “Bila rakyat tidak berani mengeluh itu artinya sudah gawat.”

Pertanyaannya sekarang, Apakah kita akan terus diam, atau mulai bergerak?

Penulis: Anggun
Editor: Harpan Pajar

Menjemput Masa Depan: Seminar Bisnis Inovatif di Era Teknologi 5.0 Dorong Jiwa Kewirausahaan Mahasiswa

Kendari, objektif.id – Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Manajemen Bisnis Syariah (MBS) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari sukses menyelenggarakan seminar bertajuk “Nuturing Creative Minds for Economics: Membangun Rencana Bisnis Inovatif di Era Teknologi 5.0” yang dilaksanakan di Aula Laboratorium Multimedia IAIN Kendari. Acara ini dihadiri lebih dari 150 mahasiswa dan dari berbagai universitas di Kendari. Pada Sabtu, 14 Desember 2024.

Seminar ini menjadi bukti nyata komitmen HMPS MBS IAIN Kendari dalam mengasah kemampuan mahasiswa untuk menjadi wirausahawan yang tangguh dan inovatif. Diharapkan, seminar ini dapat menginspirasi para peserta untuk berani bermimpi, berinovasi, dan membangun bisnis yang sukses di masa depan.

Ketua HMPS MBS IAIN Kendari, Rabiah Al-Adawiyah Yusuf, mengungkapkan alasan di balik penyelenggaraan seminar ini.

“Kami ingin memberikan edukasi kepada mahasiswa mengenai pentingnya merancang inovasi bisnis yang matang untuk bersaing di dunia bisnis masa depan,” ungkapnya.

Rabiah menekankan bahwa tujuan seminar ini adalah untuk mendorong kreativitas, inovasi, dan jiwa kewirausahaan di kalangan mahasiswa.

“Harapannya, mahasiswa dapat mengimplementasikan materi yang disampaikan dan mengembangkan nilai-nilai produk lokal agar dapat bersaing secara global,” tambah Rabiah.

Seminar ini menghadirkan narasumber inspiratif, Febriyansyah Ramadhan, Founder PT. Insan Mandiri Properti. Dalam pemaparannya, Febriyansyah menekankan pentingnya pemahaman mendalam tentang bisnis.

“Dalam bisnis, problem bukan hanya terjadi di dalam kegiatan, tetapi juga di luar. Semua itu harus kita maklumi,” ungkapnya.

Febriyansyah juga menyoroti bahwa seringkali, pembelajaran bisnis yang didapat tidak cukup mendalam.

“Tidak ada pembelajaran yang lahir dari kebenaran melainkan dari suatu kesalahan. Biasanya, kita harus mengalami kegagalan terlebih dahulu untuk bisa sukses,” jelasnya.

Lagi-lagi Febriyansyah mengingatkan bahwa dalam menjalani bisnis, tantangan dan kegagalan adalah hal yang wajar.

“Jangan heran jika banyak pelaku usaha yang mengalami kebangkrutan di awal. Itu adalah bagian dari proses belajar dalam berbisnis,” tegasnya.

Ia memberikan contoh sederhana: “Misalnya, ketika kita menjual barang, harga yang kita tetapkan bisa saja tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Kita harus belajar dari kesalahan dan terus beradaptasi dengan kondisi pasar.”

Serta Febriyansyah menekankan bahwa pentingnya pemahaman tentang bisnis, bukan hanya hitungan untung rugi, tetapi juga memahami dinamika dan strategi dalam menjalankan bisnis.

“Bisnis bukan hanya tentang angka, tetapi juga tentang memahami kebutuhan pasar, membangun strategi yang tepat, dan terus beradaptasi dengan perubahan,” jelasnya.

Seminar ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru bagi para peserta, sehingga mereka dapat lebih siap dalam menghadapi tantangan dunia bisnis yang semakin kompetitif, terutama di era teknologi 5.0.

Dengan antusiasme yang tinggi dari peserta, seminar ini berhasil menjadi platform diskusi yang produktif.

“Kami berharap kegiatan seperti ini dapat berlangsung secara berkala untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam merancang rencana bisnis yang inovatif,” tutup Rabiah Al-Adawiyah Yusuf.

Seminar ini menjadi bukti nyata komitmen HMPS MBS IAIN Kendari dalam mengasah kemampuan mahasiswa untuk menjadi wirausahawan yang tangguh dan inovatif. Diharapkan, seminar ini dapat menginspirasi para peserta untuk berani bermimpi, berinovasi, dan membangun bisnis yang sukses di masa depan.

Penulis: Rachma Alya Ramadhan

Editor: Maharani

10 Hari Menuju Pemilma, KPUM Masih Pusing Tentukan Metode Pemilihan

Istimewa

Kendari, Objektif.id – Tersisa 10 hari menjelang pemilihan umum mahasiswa (Pemilma) 2024 di IAIN Kendari, namun KPUM masih diperhadapkan dengan kebimbangan menentukan pelaksanaan teknis pemilihan tahun ini.

Ketua Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM), Rahmat, mengakui bahwa hingga saat ini belum ada kepastian tentang metode pemilihan yang akan digunakan pada pemilihan Senat Mahasiswa (Sema) yang dijadwalkan berlangsung 12 Desember 2024, dan kemudian disusul dengan pemilihan Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) pada 26 Desember 2024.

Kebingungan menentukan metode pemilihan ini terlihat memprihatinkan, mengingat Pemilma adalah agenda tahunan yang mestinya telah dirancang matang jauh hari. Akan tetapi, yang terjadi adalah KPUM tampak terombang-ambing untuk memilih metode apa yang akan digunakan nantinya.

“Kami masih berkomunikasi dengan TIPD dan pihak terkait lainnya untuk menentukan apakah pemilihan dilakukan secara online, semi-offline, atau offline,” ungkap Rahmat pada Senin, (2/12/2024). Sebuah jawaban yang terdengar seperti pengakuan bahwa persiapan dasar Pemilma masih jauh dari kata tuntas.

Bahwa berdasarkan hasil verifikasi berkas partai politik mahasiswa (parpolma) yang dilakukan oleh KPUM, dipastikan lima partai mahasiswa telah lolos untuk bertarung pada kontestasi pemilma tahun ini. Namun, hal itu justru terancam kehilangan atmosfer pertarungan demokratis jika ketidakpastian metode pemilihan menjadi tidak jelas.

Selain itu, Rahmat juga turut menyampaikan bahwa teknis pelaksanaan apapun yang digunakan, masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan.

“Baik online maupun offline, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Tapi yang utama adalah memastikan keadilan dan transparansi tetap terjaga agar kecurangan dan hal-hal merugikan lainnya dapat diantisipasi. Data pun tidak akan kami bocorkan sembarangan,” ucap Rahmat penuh keyakinan.

Pernyataan itu mungkin terdengar menenangkan. Tapi, apakah jaminan ini cukup? Dalam situasi di mana belum ada kejelasan teknis pelaksanaan pemilihan yang ditentukan oleh KPUM.

Ketidakjelasan ini tentunya memicu keresahan. Bagaimana mahasiswa bisa percaya pada proses demokrasi pemilma jika teknis pelaksanaannya saja belum jelas, dengan waktu menuju pemilma yang sangat dekat.

Di sisi lain, Rahmat berpendapat jika antusiasme mahasiswa terhadap Pemilma tahun ini disebut meningkat daripada sebelumnya. “Pergerakan politik mahasiswa semakin berkembang, ini menunjukkan demokrasi di kampus makin baik,” klaim Rahmat.

Namun, bagaimana demokrasi bisa berjalan dengan baik jika transparansi, dan kejelasan teknis menjadi tanda tanya? Oleh karena itu, antusiasme mahasiswa yang meningkat sebagaimana diklaim oleh KPUM, bisa saja berubah menjadi kekecewaan jika KPUM gagal menunjukkan keseriusan dalam menjalankan tugasnya.

Di tengah kendala yang dihadapi KPUM, mahasiswa berharap pemilma 2024 menjadi ajang pembelajaran politik, bukan sekadar rutinitas tahunan. momen politik kampus adalah pembelajaran yang bisa menjadi bekal bagi mahasiswa dalam memahami dan menjalankan demokrasi.

Akan tetapi harapan itu hanya akan menjadi slogan kosong jika KPUM tidak segera menunjukkan kinerja yang jelas dalam waktu yang semakin sempit. Terutama pada hal-hal dasar pelaksanaan pemilma. KPUM harus komitmen membuktikan bahwa Pemilma adalah ajang demokrasi sejati, bukan formalitas yang hanya mengisi kalender tahunan.

Penulis: Khaerunnisa & Alisa (anggota muda)
Editor: Hajar

Miris! Fasilitas dan Pengelolaan PKM Lantai 2 IAIN Kendari Begitu Memprihatinkan, Bukti Ketidakpedulian Pimpinan Kampus?

Kendari, Objektif.id – Tepat 1 tahun yang lalu, sejak 16 November 2023, saat lembaga kemahasiswaan ramai-ramai menyoroti ketidakpedulian kampus terhadap fasilitas dan pengelolaan gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) lantai 2 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari, kini kembali memancing perhatian publik kampus.

Sebab gedung yang menjadi sentra dari aktivitas berbagai Unit Kegiatan Khusus (UKK) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dalam menyelenggarakan kegiatan, yang seharusnya menjadi simbol vitalitas dan kreativitas mahasiswa ini, justru dipandang tak layak dan kurang mendukung kegiatan kemahasiswaan. Banyak mahasiswa yang merasa fasilitas serta tata kelola yang tersedia di sana jauh dari kata layak, bahkan jauh dari ekspektasi bagi sebuah institusi pendidikan tinggi.

Keluhan ini muncul kembali ke permukaan setelah pihak kampus sempat melakukan renovasi terbatas. Seperti penyediaan Kursi, meja, dan kipas angin sebagai bentuk perbaikan fasilitas. Tetapi kenyataannya, upaya ini dianggap sekadar solusi sementara yang tak menyentuh akar persoalan secara kolektif.

Sehingga para mahasiswa merasa perubahan ini hanya sekadar menggugurkan kewajiban tanpa keseriusan niat memperbaiki kualitas ruang yang mereka butuhkan, “kondisi gedung PKM sangat memprihatinkan. Kursi dan meja masih kurang, belum lagi soal kebersihan yang sama sekali tak terjaga. Setelah kegiatan, sampah sering kali berserakan di sekitar gedung,” ungkap La Ode Muh. Fazril, Ketua Dansat Menwa IAIN Kendari, melalui wawancara eksklusif dalam pemberitaan Objektif.id pada Kamis, (16/11/2023) lalu. Yang dengan lantang menggemakan suara keresahan seluruh anggota UKK dan UKM di IAIN Kendari.

Fazril, sebagai representasi keluhan kebanyakan mahasiswa, menekankan bahwa pihak lembaga kemahasiswaan menginginkan ada pengelolaan yang ditunjang dengan fasilitas yang bisa mendukung aktivitas mereka, karena faktanya, sering kali lembaga kemahasiswaan harus melangsungkan kegiatan dalam kondisi yang memprihatinkan.

“Kami sangat membutuhkan pengelolaan dan fasilitas yang lebih lengkap dan layak, seperti pendingin ruangan (AC), monitor proyektor, pengeras suara, pencahayaan yang lebih baik lagi, juga cara pengelolaan gedung yang baik. Ini bukan untuk kemewahan, tapi untuk menunjang kegiatan-kegiatan kami, terlebih ketika kami harus menyambut tamu atau narasumber dari luar. Bukan hanya kursi dan meja, kami ingin merasa dihargai di ruangan ini melalui keadaan yang baik,” katanya dengan tegas.

Ironisnya, gedung PKM yang sejatinya dirancang untuk mendukung kegiatan kemahasiswaan justru dirasa menjadi momok menakutkan. Seperti yang diungkapkan oleh Firmansyah (nama samaran), seorang mahasiswa yang kerap terlibat dalam berbagai kegiatan di sana, fasilitas ini bukan hanya mengecewakan, tapi juga sangat menyedihkan.

“Ruangan panas, sarang laba-laba di mana-mana, lantai kotor dan barang-barang tak terpakai berserakan. Setiap kali saya ke sini, rasanya seperti masuk ke tempat pembuangan sampah, seperti bukan gedung PKM tempat mahasiswa melakukan eksplorasi kreatifitasnya,” ucapnya penuh rasa jengkel, Kamis (14/11/2024). Kata-kata Firmansyah mungkin terkesan berlebihan, tetapi begitulah cara ia memukul perasaan mati rasa kampus yang selama ini dia pendam.

Lebih meresahkan lagi, kondisi gedung PKM IAIN Kendari ini menggambarkan sebuah paradoks yang memprihatinkan. Di satu sisi, perguruan tinggi ingin memupuk semangat mahasiswa untuk aktif, kreatif, inovatif, dan menyumbangkan prestasi, tetapi di sisi lain mereka seperti diabaikan ketika menyangkut fasilitas dengan nuansa gedung tak terurus yang tidak mendukung tempat mereka melaksanakan kegiatan itu.

Seharusnya dengan banyaknya keluhan yang muncul, kampus mesti lebih intens memberikan atensi yang nyata dalam persoalan ini. Namun, hingga saat ini, Dr. Nurdin S.Ag, M.Pd sebagai Wakil Rektor II IAIN Kendari yang bertanggung jawab atas sarana dan prasarana kampus masih belum memberikan tanggapan resmi. Padahal, protes ini bukanlah sesuatu yang baru; sudah cukup lama suara-suara mahasiswa mengalir dari gedung PKM, yang semakin hari semakin merasa gedung PKM yang ada dirasa tak layak.

Bahwa perlu diketahui persoalan ini bukan sekadar kurangnya fasilitas dan pengelolaan yang baik, tetapi menyangkut rasa cinta mahasiswa atas ruang yang menjadi tempat mereka berkarya, berkreasi, dan menyalurkan potensi, yang mereka anggap keluhan sudah bertahun-tahun akan tetapi sampai sekarang tidak mendapatkan dukungan kampus untuk menyediakan gedung yang lebih layak.

Jika kampus yang seharusnya menjadi tempat belajar dan bertumbuh tidak memberikan dukungan infrastruktur yang memadai, maka wajar jika mahasiswa selalu melakukan pembangkangan dan perlawanan, karena mahasiswa merasa kampus hanya memandang mereka sebagai angka, bukan sebagai manusia yang membutuhkan ruang ekspresi.

Oleh karena itu, dibalik keluhan ini ada harapan agar pihak kampus mampu melihat gedung PKM sebagai ruang penting bagi perkembangan mahasiswanya. Bukan sekadar soal fasilitas fisik, tetapi soal memberikan ruang yang nyaman untuk berkegiatan. Apakah pihak kampus akan merespons harapan ini, ataukah mahasiswa harus terus bersuara hingga kelelahan? Hanya tuhan yang tahu.

Penulis: Hajar & Wawan Tasriadin/anggota muda
Editor: Tim redaksi

Antusias Fun Run Dies Natalis IAIN Kendari Disambut Meriah Ratusan Peserta dari Berbagai Kalangan

Kendari, Objektif.id — Sabtu pagi 10 November, suasana riuh penuh semangat memenuhi Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari. Sejak fajar menyingsing, kampus telah dipadati ratusan peserta dari berbagai kalangan yang akan mengikuti Fun Run, sebagai puncak acara dalam rangkaian Expo dan Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) yang digelar dalam perayaan dies natalis IAIN Kendari. Kegiatan Fun Run yang berlangsung mulai pukul 05:30 hingga 12:00 siang ini, menjadi momen penutupan Porseni yang ditutup langsung oleh Rektor IAIN Kendari, Prof. Dr. Husain Insawan, M.Ag.

Pada kegiatan ini tidak hanya mahasiswa yang ikut berpartisipasi, tetapi juga masyarakat umum, mulai dari anak-anak hingga orang tua, turut hadir dalam meramaikan acara ini. “Kami sangat antusias, dan tentu saja senang melihat Fun Run ini begitu diminati oleh banyak kalangan,” ungkap Siti Fauziah, Wakil Rektor III, di sela-sela kegiatan.

“Fun Run ini bukan hanya soal olahraga, tetapi juga kesempatan untuk memperkenalkan IAIN Kendari kepada masyarakat luas. Insyaallah, tahun depan kegiatan ini akan kembali diadakan dan diharapkan menjadi agenda tahunan,” tambah Fauziah.

Kegiatan ini tidak hanya menawarkan aktivitas olahraga, tetapi juga kesempatan meraih hadiah utama dan doorprize yang menarik. Dengan itu, kegiatan ini menjadi penyemangat tambahan bagi peserta yang tak henti-hentinya bersorak dan bertepuk tangan selama acara berlangsung.

Salah satu peserta Fun Run, Hakri, membagikan kisahnya setelah menyelesaikan lomba. “Ini pengalaman yang luar biasa. Meskipun melelahkan, kepuasan yang saya rasakan sungguh tidak terbayangkan. Saya sudah berlatih dan mempersiapkan diri selama beberapa minggu untuk momen ini. Bagi saya, ini bukan hanya soal menjadi yang tercepat, tetapi tentang bagaimana kita bisa melampaui batas diri,” ujarnya penuh semangat.

Dengan bangga, Hakri juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah mendukungnya selama lomba berlangsung, “Kalian adalah motivasi yang membuat saya bertahan hingga garis finis. Selamat juga untuk para peserta lain yang telah berjuang dengan luar biasa di lintasan tadi,” tambahnya dengan senyum puas.

Keseruan semakin memuncak saat sesi pembagian hadiah dimulai, dengan para peserta yang larut dalam kegembiraan. Apalagi ditambah penampilan semarak dari mahasiswa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Seni yang turut mempersembahkan lagu dan penampilan seni sehingga menambah kehangatan dan suasana akrab diantara sesama peserta.

Selain sebagai bentuk perayaan dies natalis, semoga dengan adanya kegiatan ini mampu untuk menginspirasi masyarakat agar menjalankan gaya hidup sehat terutama menjelang bonus demografi pada 2045, Karena sebagai bangsa kita pasti ingin mewujudkan gerakan Indonesia sehat yang siap menyongsong generasi emas nantinya, khususnya di Sulawesi Tenggara.

Pada kegiatan ini tim Objektif.id, mengamati para peserta berlomba dengan semangat dengan energi yang sama, hal ini mencerminkan harmoni dan solidaritas yang diharapkan dapat terus tumbuh. Ini menandakan bahwa Fun Run tidak hanya menjadi ajang olahraga, tetapi juga simbol kebersamaan yang menginspirasi, menggerakkan semangat sehat, dan menguatkan nilai persaudaraan di antara masyarakat Kendari.

Diakhir acara, para peserta pulang dengan hati penuh suka cita, tak hanya karena hadiah yang mereka terima, tetapi juga pengalaman berharga yang tak terlupakan. Dengan demikian, Fun Run di IAIN Kendari ini membuktikan bahwa sebuah kegiatan olahraga dapat menjadi sarana mempererat hubungan antarwarga sekaligus memupuk kebersamaan yang bisa disemarakkan oleh siapa saja, dari semua usia dan latar belakang.

Penulis: Khaerunnisa
Editor: Harpan Pajar

Enggan Bentuk Satgas, Tanggapan Mahasiswa IAIN Kendari: Kampus Tidak Peduli Terhadap Pencegahan Kekerasan Seksual

Kendari, Objektif.id-Sejumlah mahasiswa IAIN Kendari kini menyuarakan keresahan mereka terhadap kampus yang tidak membentuk satgas kekerasan seksual. Padahal Kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, terutama di kampus, merupakan masalah serius yang memerlukan penanganan tegas secara menyeluruh.

Sementara institusi-institusi pendidikan lain mulai merespon dengan membentuk satuan tugas (satgas) khusus, namun IAIN Kendari justru masih mengandalkan Dewan Etik untuk menangani kasus-kasus kekerasan seksual tanpa membentuk mekanisme pencegahan yang lebih konkret.

Dalam kasus kekerasan seksual, mahasiswa beranggapan bahwa respon berupa penindakan setelah kasus terjadi tidaklah cukup. Salah satu kasus pelecehan seksual yang melibatkan dosen pada 16 November 2020 menjadi sorotan, di mana sejumlah mahasiswi melaporkan pelecehan tersebut.

Ironisnya, menurut laporan para mahasiswa, korban tidak menerima pendampingan psikologis yang layak. Meski pelaku sudah ditindak, namun mahasiswa menilai bahwa pasti ada luka psikis para korban yang tetap menganga. tanpa dilakukan upaya pemulihan dari pihak kampus, mahasiswa menganggap bahwa kampus menutup mata dihadapan wajah kekerasan seksual yang marak terjadi dilingkungan pendidikan.

Dengan kegagalan kampus dalam menyediakan dukungan penuh kepada korban melalui satgas, mahasiswa menilai kampus tidak peduli terhadap isu pencegahan kekerasan seksual. Dan kini telah menuai kritik tajam dari sejumlah mahasiswa, diantaranya mahasiswa Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD), Nurul Azkia, dia berpendapat bahwa kampus perlu memandang masalah ini dari sisi preventif. “Jangan hanya ketika ada kasus baru ada Dewan Etik. Kalau kampus tidak segera membentuk satgas, calon pelaku bisa merasa aman dan bebas melancarkan aksinya,” ungkapnya tegas.

Senada dengan itu, Muhammad Ahsan Tamsri, mahasiswa Fakultas Syariah, dia menganggap bahwa Dewan Etik saja tidak cukup memadai untuk mencegah kejadian serupa, keberadaan Dewan Etik selama ini hanya fokus pada sanksi, bukan pada pencegahan. “Kalau hanya menindak pelaku tanpa melakukan pencegahan dan mengabaikan sebagian hak-hak korban, maka kasus kekerasan seksual tidak akan pernah selesai,” tegasnya. Menurut Ahsan, pembentukan satgas kekerasan seksual akan menunjukkan komitmen kampus dalam memberikan perlindungan dan pengawasan yang ketat.

Mahasiswa lainnya, Muhammad Azhar dari Fakultas Syariah, juga mendukung penuh pembentukan satgas kekerasan seksual di kampus. Menurutnya, tindakan preventif jauh lebih efektif daripada hanya memberikan sanksi. “Lebih baik mencegah daripada mengobati,” kata Azhar yang merasa yakin bahwa regulasi yang ada saat ini belum mampu menangani kekerasan seksual secara efektif sekaligus menunjukkan sikap kampus yang tidak serius melihat isu kekerasan seksual sebagai isu yang sangat krusial.

Sementara itu, menurut Sri Wahyuni, mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) menambahkan bahwa lemahnya pendampingan dari Dewan Etik adalah salah satu ketidakpedulian kampus terhadap dampak dari kekerasan seksual. Menurutnya, saat dosen yang terbukti melakukan pelecehan kepada mahasiswa diberhentikan, kampus seharusnya turut menyediakan pendampingan psikologis bagi korban. “Dalam hal ini Perempuan seharusnya jadi prioritas dalam perlindungan kampus,” kata Sri.

Bahkan menurut Ira, teman seangkatan Nurul di Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah, kode etik kampus saat ini hanya efektif sebagai sanksi formal, namun belum menyentuh pemulihan psikologis korban. “Kalau kampus terus begini, banyak yang akan merasa tidak aman,” jelas Ira. Ia juga menegaskan bahwa tekanan dari lingkungan sekitar sering kali menambah beban korban, bahkan bisa menyebabkan depresi.

Karena pentingnya pendampingan ini bagi korban, Aulia Rani, mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FATIK). Ia berpendapat bahwa kode etik yang ada belum benar-benar berpihak pada korban, karena masih terfokus pada sanksi bagi pelaku tanpa menyediakan dukungan berkelanjutan bagi korban. “Mulai dari kasus mencuat hingga pasca penindakan, korban belum mendapatkan pendampingan seratus persen,” ungkapnya.

Selain itu, Ciang Irawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI), mengungkapkan ketidakpedulian kampus terhadap kekerasan seksual mencerminkan pengkhianatan terhadap nilai-nilai Islam yang seharusnya dijunjung tinggi. “Ketidakpedulian secara serius ini menodai nama kampus Islam,” katanya singkat. Pernyataan ini kemudian diiringi dengan kritik Muhammad Isa Amam, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI), yang mempertanyakan apakah kode etik kampus benar-benar dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah mahasiswa atau hanya sekadar formalitas. Isa mengungkapkan, “Kasus kekerasan seksual tahun 2021 antar mahasiswa dianggap selesai setelah pelaku ditindak tegas, tapi apa yang dilakukan kampus terhadap korban setelah itu?” ujarnya.

Mahasiswa-mahasiswa ini berharap pembentukan satgas kekerasan seksual bisa mengatasi kekurangan yang ada pada Dewan Etik. Bukan sekadar sanksi, mereka juga menuntut agar pendampingan psikologis bagi korban menjadi bagian penting dari upaya kampus dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman dan nyaman.

Seiring dengan semakin banyaknya seruan dari para mahasiswa, Mereka menginginkan lingkungan kampus yang aman, di mana pendampingan bagi korban juga menjadi prioritas utama. Akankah kampus menunjukkan komitmen nyata dalam melindungi mahasiswa dari kekerasan seksual dengan membentuk Satgas, atau tetap mengandalkan mekanisme Dewan Etik yang selama ini dinilai kurang memadai?

Kampus IAIN Kendari sebagai institusi yang berlandaskan nilai-nilai Islam maka sudah seharusnya memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa semua warganya, terutama kepada para mahasiswi, agar mendapatkan perlindungan yang maksimal dari kekerasan seksual. Mahasiswa IAIN Kendari saat ini menuntut agar pihak kampus tidak sekadar mengandalkan peraturan yang ada di atas kertas, tetapi juga menerapkan kebijakan yang efektif dan berpihak secara penuh kepada korban.

Penulis: Hajar & Fahda Masyriqi/anggota muda
Editor: Tim redaksi

KMKU-YK Lantik Pengurus Baru: Komitmen Bersinergi Wujudkan Konawe Utara yang Sejahtera dan Berkeadilan

Yogyakarta, objektif.id – Organisasi Keluarga Mahasiswa asal Konawe Utara di Yogyakarta (KMKU-YK) resmi melantik 24 pengurus baru mereka pada Minggu (3/11/2024), di Balai Kampung Sorokarsan, Yogyakarta, yang mengusung tema “Membangun Sinergitas, Meningkatkan Intelektualitas, Ikhtiar Menyongsong Konawe Utara Sejahtera dan Berkeadilan.”

Tema tersebut dimaksudkan sebagai bentuk tekad kuat organisasi untuk berkontribusi dan bersinergi dalam pembangunan Konawe Utara dengan semangat kebersamaan dan peningkatan kualitas diri.

Pelantikan ini menjadi momentum penting bagi mahasiswa Konawe Utara di Yogyakarta untuk terlibat dalam pembangunan kampung halaman mereka, melalui berbagai program-program kegiatan yang menitikberatkan pada aspek pengembangan kepemimpinan dan kreativitas.

Program-program tersebut tidak hanya ditujukan untuk internal anggota KMKU-YK. Tetapi juga bertujuan membuka peluang kolaborasi dengan organisasi mahasiswa lainnya di Yogyakarta, dengan tujuan agar terjadi pertukaran ide, pengetahuan, dan pengalaman yang akan memperkaya wawasan mahasiswa Konawe Utara.

Sementara itu, Ketua terpilih, Azhabul Kahfi Ramadhan, dalam sambutannya mengajak seluruh anggota untuk berpartisipasi aktif dalam menjalankan visi dan misi organisasi. “Saya ingin seluruh anggota turut serta dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi, sehingga organisasi ini dapat menjadi wadah pembelajaran sekaligus menumbuhkan jiwa kepemimpinan di kalangan mahasiswa Konawe Utara,” ungkap Azhabul.

Hal ini penting dilakukan organisasi yang berfokus pada peningkatan kapasitas mahasiswa, agar serius berkomitmen untuk mencetak generasi muda Konawe Utara yang berdaya saing tinggib melalui program-program yang mendukung peningkatan wawasan, keterampilan, dan kepemimpinan mahasiswa guna mengembangkan potensi intelektual dan karakter anggotanya.

Selain itu, dalam kesempatan tersebut, Azhabul menegaskan bahwa KMKU-YK bukan hanya tempat berkumpulnya mahasiswa asal Konawe Utara, tetapi juga wadah untuk membentuk karakter, membangun solidaritas, dan memupuk semangat sosial. Melalui KMKU-YK, diharapkan para mahasiswa dapat meningkatkan keterampilan yang relevan dan membangun wawasan yang lebih luas.

Sehingga Ketika kembali ke Konawe Utara nanti, para anggota diharapkan sudah memiliki kesiapan dan kapasitas untuk berkontribusi nyata bagi masyarakat setempat. “Ke depannya, kami berharap KMKU-YK bisa mempererat silaturahmi serta menjadi wadah pembentukan kualitas individu,” ujarnya.

Azhabul juga menekankan pentingnya mempererat silaturahmi di antara anggota. Ia menginginkan, KMKU-YK menjadi tempat bagi mahasiswa Konawe Utara di Yogyakarta untuk menjalin hubungan yang erat dan saling mendukung dalam mengembangkan diri. “Kami ingin KMKU-YK menjadi wadah bagi teman-teman mahasiswa untuk memperkuat ikatan kekeluargaan sekaligus membangun kualitas diri,” tambahnya.

Terjadinya acara pelantikan ini, KMKU-YK mendapat apresiasi dari berbagai tokoh masyarakat Konawe Utara yang tinggal di Yogyakarta. Mereka menaruh harapan besar agar KMKU-YK terus berperan sebagai agen perubahan yang mampu mencetak generasi berdaya saing tinggi dan siap menjawab tantangan global serta kebutuhan pembangunan daerah.

Sebagai penutup, Azhabul menyampaikan bahwa organisasi ini bukan hanya tentang membangun solidaritas antar anggota, tetapi juga tentang persiapan jangka panjang untuk membangun sumberbdaya manusia Konawe Utara yang lebih maju dan berkeadilan.

Azhabul berharap agar seluruh jajaran pengurus baru KMKU-YK berkomitmen untuk membawa organisasi ke arah yang lebih baik. “Kita harus siap melangkah untuk meningkatkan bersinergi wujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat Konawe Utara, sesuai dengan visi besar yang diusung organisasi.” Harapnya.

Penulis: Rachma Alya Ramadhan  

Editor: tim redaksi

Simposium Demokrasi dan Politik oleh SEMA Syariah IAIN Kendari: Membangun Nalar Kritis Mahasiswa

Kendari, Objektif.id – Suasana berbeda terasa di Aula Mini Perpustakaan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari pada Senin (28/10/2024). Pagi itu, lebih dari 150 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Kendari tampak antusias menghadiri Simposium Hukum, Demokrasi, dan Politik yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa (Sema) Fakultas Syariah IAIN Kendari.

Para peserta yang hadir berasal dari beberapa kampus di Kendari, seperti Universitas Halu Oleo, Universitas Muhammadiyah, Universitas Sulawesi Tenggara, dan STIE 66.

Bahwa kehadiran mereka tidak hanya untuk mendengarkan, tetapi juga berpartisipasi dalam diskusi yang bertujuan menajamkan nalar kritis sebagai pemilih muda, yang nantinya akan menjadi generasi penting dalam dinamika politik yang terus berkembang.

Pada simposium kali ini Sema Syariah mengangkat tema “Restorasi Demokrasi: Eksistensi Kedaulatan Rakyat dalam Menentukan Arah Sulawesi Tenggara.” Tema ini dianggap sangat relevan dengan Pilkada serentak yang akan digelar pada 27 November mendatang, yang mana pemilih muda akan memainkan peran penting dalam menentukan pemimpin yang membawa aspirasi masyarakat luas.

Selain antusiasme dari mahasiswa, simposium ini juga dihadiri oleh Prof. Dr. Kamaruddin, Dekan Fakultas Syariah, yang menyampaikan pentingnya kegiatan semacam ini dalam situasi demokrasi yang kian dinamis.

Menurutnya, restorasi demokrasi adalah hal yang perlu untuk dipahami oleh mahasiswa agar mereka tidak hanya cerdas dalam teori tetapi juga bijak dalam praktik politik nyata.

“Mahasiswa diharapkan memahami demokrasi secara komprehensif, terutama dalam menghadapi pemilihan serentak yang akan datang,” tegas Prof. Kamaruddin, yang menekankan pentingnya peran mahasiswa sebagai generasi yang akan menjadi pemimpin masa depan.

Sementara itu, ditempat yang sama Muhammad Ikbal, sebagai Ketua Sema Fakultas Syariah, menjelaskan bahwa acara ini bukan sekadar kegiatan akademik biasa. Baginya, simposium ini adalah wadah untuk mengajak mahasiswa lebih kritis dalam melihat realitas politik, terutama ketika mereka akan menggunakan hak pilihnya.

“Sebagai masyarakat, kita harus bijak dalam memilih pemimpin yang bisa membawa Sultra ke arah yang lebih sejahtera. Menggunakan hak politik secara baik dan benar sangat penting,” kata Ikbal, penuh semangat.

Dalam kegiatan ini para peserta juga merasakan manfaat terutama dalam menambah pemahaman mereka tentang demokrasi menjelang pemilihan serentak pada November mendatang.

Hal itu disampaikan oleh Fiqih, sebagai mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Kendari, dia mengungkapkan bahwa simposium ini memberikan wawasan baru yang sangat relevan dengan konteks pilkada.

“Ilmu yang kami dapatkan sangat bermanfaat. Materi yang disampaikan membuat kami lebih jeli dalam memilih pemimpin untuk lima tahun ke depan pada pilkada serentak nanti,” katanya dengan penuh semangat.

Harapannya, mahasiswa tidak hanya mampu menjadi pemilih yang cerdas, tetapi juga agen perubahan dalam kehidupan politik yang lebih sehat dan bertanggung jawab di masa depan.

Dengan adanya simposium ini semoga bukan hanya menjadi ruang diskusi, tetapi juga memantik kesadaran kritis di kalangan mahasiswa Kendari, tapi juga sebagai jembatan bagi mahasiswa untuk belajar memahami demokrasi yang sesungguhnya di tengah hiruk-pikuk politik yang kadang membingungkan.

Penulis: Aril Saputra & Indra Rajid (anggota muda)
Editor: Andi Tendri

Edukasi Pemilih Muda Lewat Layar Lebar: KPU Kendari Gelar Nobar “Tepati Janji” di IAIN Kendari

Kendari, Objektif.id – Pada Senin sore (28/10/2024), suasana di Aula Lab Multimedia Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari berbeda dari biasanya. Sebab puluhan mahasiswa dari berbagai program studi tampak antusias memadati kegiatan nonton bareng (nobar) yang diinisiasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Kendari.

Selain mahasiswa, kegiatan nobar film yang berjudul “Tepati Janji” ini dihadiri juga oleh tokoh-tokoh penting kampus, seperti Rektor IAIN Kendari, Prof. Dr. Husain Insawan, M.Ag., dan Wakil Rektor III Dr. Sitti Fauziah, M.S.Pd.I., M.Pd.

Film ini dipilih bukan tanpa alasan, Karena menurut Kahar Taba, salah satu anggota KPU Kota Kendari, bahwa film “Tepati Janji” menjadi penting sebagai bahan evaluasi kepemimpinan sebagaimana dengan tema yang diangkat pada film ini, yaitu komitmen seorang pemimpin dalam menunaikan janji kepada masyarakat.

Sehingga film tersebut menjadi sebuah refleksi kesadaran kritis kepada para pemimpin dan masyarakat tentang bagaimana mengawal dan mempertanggungjawabkan amanah yang telah diberikan kepada pemimpin agar terlaksana sesuai dengan apa yang dicita-citakan bersama.

“Melalui film ini, kami berharap mahasiswa bisa mengawal kepentingan publik sesuai dengan tujuan yang telah disepakati bersama, serta memahami nilai penting dari sebuah kepemimpinan yang berintegritas dan bertanggungjawab,” ujar Kahar.

Baginya, kegiatan nobar ini adalah bagian dari program sosialisasi yang ditujukan untuk memperluas wawasan pemilih muda mengenai esensi demokrasi agar supaya pandai memilah sebelum memilih setiap calon pemimpin yang akan berkontestasi nantinya.

“Tujuan kami, agar mereka bisa memahami apa itu Pilkada dan nilai-nilai demokrasi yang terkandung didalamnya, agar mereka mampu melihat visi serta misi pasangan calon yang akan bertarung nanti,” katanya dengan penuh optimisme.

Harapannya adalah, dengan kehadiran mahasiswa yang ditandai melalui estimasi masa yang tidak sedikit, semoga mereka datang bukan hanya sekadar untuk menonton film, tetapi diluar daripada itu diharapkan mereka memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang apa itu demokrasi.

Sementara itu, salah satu peserta nobar, Sherly Afriani, mahasiswa Program Pendidikan Ekonomi Syariah, merasakan manfaat dari kegiatan ini. Ia mengaku banyak belajar tentang cara memilih pemimpin yang tepat dari film tersebut.

“Film tadi sangat menarik, banyak pelajaran yang bisa diambil, terutama tentang bagaimana kita bisa memilih pemimpin yang benar-benar punya komitmen untuk memimpin ke arah yang lebih baik,” ungkapnya sambil tersenyum.

Sherly juga menyampaikan harapannya agar Pilkada mendatang dapat melahirkan sosok pemimpin yang memprioritaskan kepentingan rakyat, khususnya di Sulawesi Tenggara. “Semoga pemimpin yang terpilih nanti bisa bekerja lebih baik lagi dari pemimpin-pemimpin sebelumnya,” tambahnya dengan penuh harapan.

Kegiatan ini diharapkan tidak hanya menjadi hiburan bagi mahasiswa. Lebih dari itu, nobar film “Tepati Janji” harus menjadi medium efektif untuk merangkul dan mendidik pemilih muda tentang pentingnya kesadaran terhadap partisipasi politik.

Bahwa di tengah perkembangan politik yang semakin dinamis, langkah KPU Kota Kendari dalam memberikan edukasi nilai-nilai demokrasi melalui nobar film “Tepati Janji” semoga dapat menumbuhkan kesadaran politik yang lebih luas dikalangan generasi muda, yang kelak akan menjadi penentu masa depan demokrasi bangsa.

Penulis: Khaerunnisa

Editor: Tim redaksi