Kita Tidak Butuh Banyak

Persma selamanya. Ya, pers mahasiswa Objektif akan tetap abadi bahkan ketika gerakannya hanya dimotori oleh segelintir orang. Aku mungkin tidak selama para senior yang lebih dulu masuk dalam organisasi yang bekerja pada ruang-ruang jurnalistik ini. Aku sendiri bergabung sejak tahun 2021, dengan usia semester yang masih belia. Memang bukan pilihan yang lazim selayaknya kebanyakan mahasiswa untuk masuk ke dunia organisasi. Untungnya aku tidak sepengecut mereka, yang tersandera oleh stigma masyarakat bahwa organisasi itu merupakan tempat yang kumuh tak bermanfaat dan penuh kekerasan. Ironisnya, perbuatan durjana oknum dianggap sebagai kesimpulan utuh atas kondisi dari sebuah organisasi.
Berproses di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers Objektif adalah sesuatu yang awalnya tak aku seriusi. Berbagai metode pembentukan karakter dan jalan intelektualnya adalah sesuatu yang baru kudapatkan, tentu hal itu yang membuat anak kampungan seperti aku yang jauh dari kultur aktivisme mahasiswa seperti membaca, menulis dan diskusi, merasa tak sanggup untuk mudah beradaptasi.
Sekali lagi, bahwa itu memang bukan sesuatu yang mudah. Tapi dengan cara-cara keras (bukan kasar dan tidak bersifat komando) itulah yang menciptakan manusia-manusia tangguh, yang tidak manja, tolol dan feodal. Andai kata pedang, ia harus ditempa dengan sekuat dan sekeras-kerasnya agar menghasilkan ketajaman yang optimal. Bahwa hasil dari proses keras itu tidak menjadikan aku sebagai mahasiswa berprestasi bukan sebuah masalah bagiku, justru aku sangat bangga dengan kesibukan yang menuntunku jatuh cinta pada demonstrasi, kajian isu, hingga liputan yang mengusik kepentingan-kepentingan manusia lainnya atas segala kemudaratan perbuatannya.
Dengan berbagai aktivitas kemahasiswaan seperti itu yang tidak banyak ditempuh oleh orang lain, aku kemudian membuat kesimpulan yang mungkin terkesan subjektif, “bahwa dalam kampus kita bukan hanya sekadar mengejar juara apalagi gelar sarjana semata lebih daripada itu kita harus menjadi manusia.” Manusia yang peka terhadap persoalan masyarakat arus bawah, yang lantang bersuara pada ketidakadilan, serta memutus rantai perbudakan dari kebijakan-kebijakan politik yang bangsat.
Menjadi kader UKM Pers merupakan ketidaksengajaan yang tidak akan aku sesali. Bahwa perlawanan dan keragu-raguan yang menjadi dasar kerja-kerja jurnalistiknya harus betul-betul diresapi oleh setiap anggotanya. UKM Pers tidak boleh hanya sekadar menjadi organisasi penampung manusia yang tak punya keberanian apalagi kehilangan perspektif. Dalam banyak momentum penerimaan anggota, aku melihat standar perekrutan yang dipakai masih cenderung memakai tolak ukur kekerabatan relasi yang tidak berbasis pada kompetensi. Akibatnya, organisasi hanya melahirkan kuantitas secara berlebihan yang jauh dari ideologi pers mahasiswa.
Tidak berlebihan kiranya jika aku menyampaikan kegalauan pada organisasi yang telah berhasil melahirkan kader-kader keder yang masuk karena ingin numpang tenar atau menjadikan UKM Pers sebagai batu loncatan untuk mencapai sisi-sisi yang lain dalam menunjang karir dan kepentingan pribadi mereka. Hari ini aku ingin menyampaikan secara gamblang, sudah cukup sekian lamanya organisasi tidak menyiapkan kader yang sigap dan kuat melanjutkan kerja-kerja pers mahasiswa yang sesungguhnya. Harus diakui jujur, mayoritas kader dan alumni UKM Pers tidak paham sejarah perjuangan pers mahasiswa sebagaimana yang telah diulas dalam buku putih Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).
Padahal sejatinya gerakan pers mahasiswa dipandu pada tiga pokok kultur, yang pertama adalah kesadaran historis yang menempatkan sejarah perjuangan pers mahasiswa sebagai penguatan organisasi melalui karya jurnalisitknya yang menjadi bagian penting dalam laku hidup pergerakannya yang berorientasi kerakyatan. Kedua, adalah memahami pola gerakan pers mahasiswa disesuaikan dengan kebutuhan zaman yang tidak terlepas dari kesulitan-kesulitan yang harus siap diterima oleh mereka yang berkecimpung di organisasi pers mahasiswa. Ketiga, kesadaran praktis dalam melihat kondisi organisasi yang terbengkalai karena kemunduran wawasan dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik.
Sebagai pimpinan redaksi di periode kepengurusan tahun ini aku prihatin dan khawatir. Prihatin ketika pengurus masih menerapkan standar perekrutan kader baru berbasis kuantitas, sekaligus khawatir secara keorganisasian jika masih memperpanjang ruang keistimewahan pada mereka yang tak bisa dan tak mau menulis. Bukankah itu sebuah aib nyata yang sedang dipelihara. Haruskah kita menormalisasi anomali itu? Aku pikir tidak, mengamini itu sama halnya menghianati nilai-nilai dari ideologi pers mahasiswa itu sendiri.
Model kader surplus gaya minim karya selalu lebih banyak daripada mereka yang tulus berbuat mempersembahkan produk jurnalistiknya pada publik. Dari puluhan manusia yang direkrut disetiap angkatan pada akhirnya hanya menjadi tumpukan “kotoran” yang tidak bisa diberdayakan selain dibersihkan. UKM Pers Objektif IAIN Kendari tidak lahir dari ruang kosong dan hampa. Ia lahir dari rahim perjuangan yang panjang. Jejak perlawanannya tercatat disetiap lembar liputannya. Sudah saatnya membersihkan kader yang tak cakap dalam menulis dan tak punya keberanian untuk melawan demi kepentingan publik termasuk melawan intervensi alumni dalam agenda liputan dan penerbitan.
Secara kolektif kita harus sepakat saat dinamika kampus dan problem kebangsaan yang terus bergejolak, pers mahasiswa hadir sebagai salah satu ruang yang meramu ide-ide visioner, berteriak dengan lantang, mempertaruhkan jiwa raganya dalam memperjuangkan kebenaran dan kepentingan publik. Akan tetapi, seiring waktu, wajah dari kader pers mahasiswa kita malah jauh bergeser dari arah garis membela mereka yang tertindas, menjadi corong bagi suara yang dibungkam, serta menghidupi nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan kebenaran. Begitu sangat nampak bagaimana kegugupan untuk kritis serta menghasilkan produk jurnalistik telah disarangi oleh kemalasan. Banyak dari anggota tidak lagi mengetahui atau merasakan ruh perjuangan pers mahasiswa. Mereka lebih sibuk dengan algoritma media sosialnya yang membuat apatis ketimbang mengimplementasikan apa yang menjadi perannya sebagai jurnalis media alternatif.
Disinilah pentingnya menata ulang arah. Bahwa regenerasi yang sehat membutuhkan sistem kaderisasi yang kuat, tidak memanjakan kader, membentuk kualitas bukan sekadar militansi. Jika definisi dari nama pers dan mahasiswa itu berat dan mulia karena didalamnya terkandung spirit intelektualitas (kritis), kemanusiaan
(keberpihakan pada moral dan etika), kerakyatan (keberpihakan
dan kepedulian pada rakyat bawah), kebangsaan (demokratisasi
dan kemartabatan negeri), dan pers mahasiswa yang
independen. Maka dengan demikian buat apa secara keorganisasian kita masih mempertahankan kader yang tak tahu berbuat apa saat tergabung dalam pers mahasiswa.
Lagi-lagi di dalam nama “pers mahasiswa”, terkandung beban sejarah dan semangat perjuangan. Ia adalah wujud dari keberpihakan. Berpihak kepada rakyat kecil, pada etika dan nurani, pada proses demokratisasi, serta pada martabat bangsa. Maka tak berlebihan bila menempatkan pers mahasiswa sebagai kekuatan independen yang kritis terhadap segala bentuk penyimpangan.
Dalam kegusaranku menulis di ruang redaksi yang hening, disaksikan tembok yang kusam dan tumpukan buku di rak, aku sadar satu hal—bahwa perubahan tidak datang dari langit. Ia harus mulai dari yang kecil; membongkar masalah lebih jujur, menyusun ulang pola kaderisasi, kemudian mewariskannya dalam bahasa generasi kini dan selanjutya. Aku tahu berat, tapi siapapun itu tak ingin menjadi manusia yang menyerah dalam diam. bahwa yang paling penting kita tidak butuh banyak, kita butuh yang tidak gagap untuk berbuat. Mereka yang tidak aktif tidak perlu dilibatkan. yang tidak serius buat apa dikasih ruang. Pengurus organisasi harus tahu batas dan tahu diri, jika anggota tidak menganggap penting pers mahasiswa maka secara kelembagaan harus memperlakukan hal yang sama.
Eksplorasi konten lain dari Objektif.id
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.