Memoar Filep Karma : Seakan Kitorang Setengah Binatang


Buku ini berisikan hasil wawancara dengan Filep Karma yang saat itu menjadi tahanan politik di Lapas Kelas IIA Abepura. Filep mengisahkan kehidupan masa kecilnya dalam bayang-bayang militrisme, tindakan rasis pernah dialaminya, latar belakang perjuangan damai yang berujung represif aparat, konsep nasionalisme Papua serta kritiknya terhadap perjuangan Papua dalam penentuan nasib (self-determination). Melalui buku ini, pembaca akan memahami secara utuh dan berimbang mengenai rentetan permasalahan yang terjadi di Papua, seperti diskriminasi rasial hingga pelanggaran HAM —yang hingga kini belum diusut tuntas.
Filep Karma berasal dari keluarga yang terpandang. Ayahnya, Andreas Karma, pernah menjabat sebagai wakil bupati Jayapura periode 1968-1971, bupati Wamena sekitar 1970-an dan bupati Serui 1980-an. Menyelesaikan sekolah menengah di Jayapura, lanjut berkuliah di Universitas Sebelas Maret mengambil Jurusan Ilmu Politik. Usai lulus pada 1987, kemudian bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pernikahannya Ratu Karel Lina, seorang perempuan Melayu-Jawa dikaruniai dua anak, Audryne Karma dan Andrefina Karma.
Kilas Balik Perjuangan
Pada 1997, Filep mendapat kesempatan kuliah di Asian Institute of Management, Manila, Filipina. Selama di Filipina, diskriminasi tidak pernah didapat ketika berinteraksi dengan masyarakat, jauh berbeda seperti yang dialami di Papua maupun di Jawa. […] “Selama sekolah di Jawa, kitorang yang dari Papua, sering dianggap setengah binatang. Kitorang dianggap seakan-akan evolusi dari teori Darwin, proses dari hewan berubah jadi manusia. Itu saya rasakan dari teman-teman yang kuliah di Solo. Jadi mereka bukan dari masyarakat yang tidak berpendidikan saja, tapi juga dari kalangan berpendidikan. Mereka memperlakukan kami begitu. Seringkali orang Papua dikata-katai, “Monyet! Ketek!. […] Di sana juga saya menemui kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan berbicara, dan penghargaan terhadap pendapat yang saya kemukakan. Ini motivasi saya. Setelah saya kembali ke Papua, saya lebih berani dalam berbicara, tidak seperti sebelum saya kuliah ke Filipina” [hlm. 8-9].
Melalui pendidikan serta pengalaman, inilah yang membentuk cara pandang dan tumbuh kesadaran untuk merespon penindasan di Papua. Filep awalnya mengira, perjuangan kemerdekaan Papua hanya melalui senjata dan bergerilya di hutan. Ternyata ada cara lain yang dapat ditempuh, dengan menyampaikan aspirasi secara damai, berdialog secara inklusif, tanpa menindas kelompok lainnya. […] “Waktu remaja saya berpikir kalau saya berjuang Papua Merdeka berarti saya harus berjuang dengan kekerasan. Saya harus mempersenjatai diri dan berjuang di hutan-hutan. Tidak mungkin tinggal di kota. Namun itu berarti siap mempertahankan nyawa. Pada umumnya orang Papua semua berpikir demikian” [hlm. 7].
Setelah menyelesaikan pendidikan di Manila, pada 1998 dalam perjalanan pulang ke Jayapura, transit di Jakarta dua hari. Melihat aksi demonstrasi mahasiswa yang menuntut agar Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden. Pasca lengsernya Soeharto, aksi menuntut kemerdekaan Papua terjadi dibeberapa daerah seperti Jayapura, Sorong, Wamena, Biak, dan Manokwari.
Aksi Damai & Peristiwa Biak Berdarah
Pada 2 Juli 1998, Filep memimpin aksi di Biak, bendera bintang kejora berkibar di Tower Air setinggi 35 meter di belakang Puskesmas. Banyak masyarakat yang bergabung mempersenjatai diri dengan tombak, parang dan bom molotov. Filep lalu menyuruh adiknya mengumpulkan senjata tersebut dan dibuang di pelabuhan, lalu berkata: Maaf ini perjuangan damai. […] “Jadi kitorang tak boleh pakai kekerasan, tak boleh pakai senjata yang bisa membahayakan orang lain. […] Kalau kita tak bersenjata, tak ada alasan polisi memperlakukan kita semena-mena atau menembak kita. Tapi kalau kita bersenjata ada alasan polisi untuk menembak” [hlm. 15].
Aksi berlanjut sampai 6 Juli 1998 dan berujung tindakan represif aparat. Peristiwa ini yang kemudian dikenal dengan “Biak Berdarah” (Pusara Tanpa Nama, Nama Tanpa Pusara). Human Rights Watch melaporkan, penyebab bentrokan dikarenakan seorang sersan polisi masuk ke barisan massa aksi, dipukul hingga beberapa gigi patah saat hendak melakukan provokasi.[1] Jumlah korban dari laporan Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua, terdapat 150 orang ditahan secara sewenang-wenang, 37 orang mengalami luka-luka, 8 orang meninggal, 3 orang dinyatakan hilang dan terdapat pula 32 mayat yang mengambang di perairan Biak.[2]
Imbas dari aksi damai di Biak, 19 orang harus diadili dengan jeratan pasal makar, termasuk dirinya. Filep sendiri ditendang kepalanya, lalu dipopor dengan gagang senjata hingga pingsan sampai sadar kembali dan kedua kakinya ditembak peluru karet. Pada 25 Januari 1999, Pengadilan Negeri Biak memberi hukuman penjara 6,5 tahun. Setelah diajukan banding, pada bulan November di tahun yang sama dinyatakan bebas demi hukum.
Penjara Kecil ke Penjara Besar
Penjara tidak membuatnya gentar, pada 1 Desember 2004 —memperingati deklarasi kemerdekaan Papua 1 Desember 1961. Bersama ratusan warga di Lapangan Trikora, Abepura, orasinya sangat berapi-api, “[…] Di Jawa, ada orang rambut lurus, orang Jawa asli, dia juga peduli pada kitorang. Suatu saat kalau Indonesia kejar dan bunuh orang ini, Sobat kau datang. Orang Jawa, orang Manado, siapa pun yang rasa memiliki di Papua adalah bagian dari bangsa Papua. Sebaliknya, banyak orang asli Papua, kulit hitam, rambut keriting, makan lebih banyak, hatinya lebih Indonesia” [hlm. 25].
Inilah yang membuatnya harus ditangkap lagi, didakwa dengan Pasal 106 dan 110 KUHP tentang perbuatan “makar”. Kemudian Pengadilan Negeri Abepura menjatuhi hukuman 15 tahun penjara. Sedangkan rekannya, Yusak Pakage yang ikut merancang aksi, diberi hukuman 10 tahun penjara. Menjalani masa tahanan di Lapas Kelas IIA Abepura, Filep bersikukuh dengan perjuangannya dan menolak remisi tiap tahun. “[…] Ia berpendapat menerima remisi berarti tersirat mengakui dia bersalah” [hlm. 66].
Dukungan maupun simpati kemanusiaan didapatkan melalui kiriman surat yang berjumlah ribuan. Tidak hanya Indonesia, dukungan Amensty International dari berbagai negara seperti, Malaysia, Filipina, Myanmar, Thailand, Australia, Selandia Baru, Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Kanada, dan Amerika Serikat mengajukan petisi agar segera membebaskannya tanpa syarat, dan juga tahanan lainnya.[3] Ketika kesehatannya memburuk dan harus berobat, Kementrian Hukum dan Ham enggan memberikan bantuan sedikit pun dengan dalih tak memiliki uang untuk pengobatannya. Hasil penggalangan dana dari pelbagai pihak mencapai sekitar Rp115 Juta.[4]
Selama kurang lebih 11 tahun mendekam di penjara, Filep akhirnya dibebaskan pada 19 November 2015. Dalam wawancaranya, ia mengatakan sangat kaget saat diberi tahu bahwa ia akan dibebaskan dua tahun lebih awal. […] “Saya tahunya akan dibebaskan pada 2019. Saya bebas dari penjara sekarang ini, sebetulnya saya masih dalam penjara, yaitu penjara besar Indonesia. Artinya saya masih terkurung dalam negara Indonesia dengan aturan-aturannya yang diskriminatif dan rasialis”.[5]
Kritik Langkah Perjuangan
Papua sudah diterima sebagai bagian dari wilayah negara Indonesia dalam Sidang Umum United Nations pada November 1969. Melalui voting, 84 negara setuju dengan hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), 30 negara abstain, dan tidak ada satu negara pun yang tidak setuju Papua masuk Indonesia. Adapun jumlah anggota United Nations terdiri dari 193 negara, apabila Papua hendak menjadi negara berdaulat. Tentunya Papua membutuhkan dukungan dari negara-negara anggota United Nations.
Alih-alih berdiplomasi, beberapa elite Papua justru saling sikut berebut kekuasaan. […] “elite Papua suka sekali klaim sebagai “presiden Papua Barat” walau negara Papua, ironisnya, belum merdeka, belum pernah ada. Mereka suka dengan teori bahwa negara akan ada bila ada pemerintah. Maka mereka berebut jadi ‘presiden’ atau ‘perdana menteri’. Mereka lupa bahwa kedaulatan negara adalah persoalan dunia internasional” [hlm. 81].
Inilah yang sangat memprihatinkan baginya beberapa elite Papua yang perjuangannya masih dilandasi ego sektoral. […]“Perjuangan Papua masih bersifat kedaerahan. Hanya melibatkan orang Papua. Tidak perlu dengan komunitas lain. Jadi orang Papua hanya sibuk mengurus kepentingannya sendiri. Dia meneriakkan penderitaannya. Dia mengekspresikan itu dengan cara-cara yang masih mengangkat tarian daerah, budaya tradisional, sehingga menutup akses teman-teman dari komunitas lain untuk bergabung” [hlm. 37]. Hal inilah yang tentunya dapat melemahkan perjuangan dan karena mudah untuk terpecah-belah (divide at empera).
Pembenahan organ-organ perjuangan, pendidikan politik pada masyarakat dan penyatuan persepsi merupakan suatu alternatif yang ditawarkannya. Keberhasilan Timor Leste menentukan nasib sendiri (self-determination) menjadi sebuah refleksi baginya, […] “Saya melihat Timor Leste juga bisa merdeka karena mereka punya bahasa nasional: Tetun. Organ-organ perjuangannya lebih solid. Mereka cepat menyadari kesalahan dan memperbaiki diri. Tadinya mereka punya faksi-faksi tapi menyadari bahwa berbenturan sendiri membuat mereka lemah. Akhirnya mereka mau duduk bersama dan menyatukan persepsi perjuangan” [hlm. 35].
Penutup
Sampai pada 1 November 2022 silam, Filep Karma dikabarkan meninggal dunia dan jasadnya ditemukan di pantai Base G, Jayapura.[6] Pemakamannya dihadiri oleh puluhan ribu orang dan bendera Bintang Kejora dikibarkan sebagai penghormatan terakhir padanya.[7] Jika saja memilih hidup seperti kebanyakan orang, kemungkinan besar, dia dapat menjadi seorang kepala daerah, karena latarbelakang keluarganya.
Buku ini bukan untuk menyebarkan paham separatis. Namun, pembaca dapat mengkontekskan pada situasi Papua hari ini, dan memberi jawaban atas pertanyaan: “Mengapa sampai hari ini, Papua ingin merdeka dari Indonesia?”. Olehnya itu, untuk mengurai kembali akar permasalahan di Papua, seharusnya ada ruang dialog secara inklusif dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan dan keadilan agar tercapai sebuah kesepakatan. Karena mengingat, negara Indonesia sendiri telah meratifikasi International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1998, UU No. 11 Tahun 2012 & UU No. 12 Tahun 2012.
Daftar Pustaka
- https://www.hrw.org/report/1998/12/01/indonesia-human-rights-and-pro-independence-actions-irian-jaya
- https://www.biak-tribunal.org/wp-content/uploads/2013/07/ELSHAM-biak-report_19981.pdf
- https://www.amnesty.org/en/wp-content/uploads/2021/05/ASA2117222015INDONESIAN.pdf
- https://anugerahperkasa.wordpress.com/2013/07/21/menemui-filep-karma
- https://bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/11/151119_indonesia_papua_filep_karma_bebas
- https://jubi.id/polhukam/2022/filep-karma-ditemukan-tak-bernyawa-di-pantai-base-g/
7. https://youtu.be/4cHxQI1-1fM?si=kUwoEPLLgGsb9X-j
Biodata Penulis
Anan Mujahid adalah aktif Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Sorong juga sebagai Anggota LPM Honai
Eksplorasi konten lain dari Objektif.id
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.