Objektif.id – Sekarang ini saat banyak orang merasa paling benar dan jarang mau membaca atau mencari tahu sendiri, agama sering dijadikan alat untuk mencari keuntungan. Bukan lagi soal keyakinan yang mendalam, tapi seperti barang dagangan yang dijual-belikan di tengah masyarakat yang kurang peduli untuk berpikir kritis. Hal inilah yang disebut feodalisme beragama.
Berbicara tentang Indonesia, meskipun kita sudah memasuki era Society 5.0 sejak tahun 2019 dan teknologi berkembang sangat pesat, hal ini belum sepenuhnya mendorong kemajuan literasi masyarakat.
Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) Indonesia 2024 mengalami kenaikan sebesar 5,9% atau 73,52 dari 69,42 di tahun 2023. Namun, untuk dapat bersaing secara global, pencapaian ini masih belum cukup. Faktanya, data dari World Atlas menempatkan Indonesia di posisi ke-105 dari sekitar 193 negara. Sementara itu, Menurut UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah yaitu 0,001% atau hanya 1 dari 1.000 orang yang rajin membaca.
Dalam konteks digital, posisi Indonesia secara global masih tergolong rendah. Berdasarkan World Digital Competitiveness Ranking tahun 2023, Indonesia menempati peringkat ke-45 dari 64 negara, atau masih di bawah rata-rata.
Sementara itu, Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) tahun 2024 berada di angka 43,34. Dari beberapa pilar penyusunnya, keterampilan digital memiliki nilai tertinggi, yaitu 58,25. Sebaliknya, pemberdayaan digital menjadi pilar dengan nilai terendah, yaitu 25,66.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sudah cukup mahir menggunakan perangkat digital, tetapi masih belum banyak yang menggunakannya untuk kegiatan yang produktif secara ekonomi.
Seperti yang telah penulis sampaikan sebelumnya, meskipun penggunaan perangkat digital di Indonesia sangat tinggi, hal ini belum sepenuhnya diikuti dengan kemampuan literasi digital yang baik. Menurut data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 221.563.479 jiwa dari total 278.696.200 jiwa penduduk.
Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar (79%) masyarakat Indonesia sudah terhubung dengan dunia digital. Namun sayangnya, banyak dari mereka—baik remaja, orang tua, hingga kalangan berpendidikan tinggi sekalipun masih menerima dan menyebarkan informasi dari media sosial tanpa menyaringnya terlebih dahulu.
Ini menjadi masalah serius. Kemudahan akses informasi seharusnya membuat kita lebih cerdas, bukan malah semakin mudah terjebak oleh hoaks, provokasi, atau konten menyesatkan.
Agama sejatinya merupakan pedoman hidup dan sumber ketenangan batin. Namun dalam praktiknya, sejak dulu agama kerap dimanfaatkan oleh sebagian “Oknum” untuk kepentingan pribadi, termasuk kekuasaan dan keuntungan materi. Di Indonesia, fenomena ini bukan hal baru. Sudah sejak lama muncul tokoh atau kelompok yang mengklaim mendapat wahyu, menjadi nabi baru, dan menyampaikan ajaran menyimpang yang mengatasnamakan Islam.
Beberapa organisasi bahkan berkembang cukup pesat sebelum akhirnya dinyatakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Contoh paling mencolok adalah Al-Qiyadah Al-Islamiyah, yang dipimpin Ahmad Mushaddeq, mengaku sebagai nabi dan menyebarkan ajarannya secara terang-terangan. Ada pula Lia Eden dengan Komunitas Salamullah yang menggabungkan berbagai unsur agama dan mengklaim mendapat wahyu dari malaikat Jibril. Gafatar, Ahmadiyah, hingga sebuah kasus penyimpangan yang baru terungkap tahun lalu terjadi pada jemaat Masjid Aolia di Gunung Kidul puasa dan shalat idul Fitri lebih dulu akibat mengikuti ajaran imamnya yang mengaku mendapat “telepon” langsung dari Allah SWT. Wallahu’alam.
Memasuki era modern, wajah komersialisasi agama berubah bentuk. Dengan hadirnya media sosial, agama kini sering dijadikan konten viral. Banyak tokoh baru muncul sebagai “Oknum ustadz seleb” yang mengutamakan jumlah like dan followers dibanding kualitas isi dakwah.
Kemudian, di beberapa pesantren dan paguyuban ataupun organisasi atas nama Islam yang belum terjamah publik dari berbagai daerah di Indonesia, masih ditemukan oknum yang mengklaim dirinya berilmu agama tinggi, namun justru memanfaatkan ketidakberdayaan santri dan santriwati. Mereka dipaksa untuk bersimpuh atau memberi penghormatan berlebihan setiap kali berpapasan, seolah sosok tersebut harus diperlakukan layaknya Tuhan. Ironisnya, tindakan ini dibenarkan dengan dalih “adab” hingga menjadi sebuah budaya, padahal jelas mencederai nilai keikhlasan, kesetaraan, dan ajaran agama islam itu sendiri.
Dengan meningkatnya para pelaku feodalisme agama maka produk-produk dengan label syariah juga kian menjamur. Agama sekarang tidak hanya menjadi ajaran, tetapi juga brand.
Ini adalah salah satu contoh komersialisasi agama dalam bentuk produk untuk memberdayakan pikiran masyarakat, dengan membawa-bawa dalil dari ayat suci Al-Qur’an. Sayangnya, banyak dari mereka yang langsung percaya tanpa berpikir kritis. Bahkan, di salah satu platform e-commerce berlogo S, produk ini sudah dibeli lebih dari 2.000 kali.
Sehingga secara alami agama Islam menjadi lahan yang paling luas dan “empuk” untuk dieksploitasi oleh oknum yang haus kekuasaan dan pengaruh. Berdasarkan data Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) RI tahun 2024 penduduk yang beragama Islam sudah mencapai 87,08% atau 245.973.915 jiwa.
Dengan jumlah pengikut yang besar dan tingkat literasi keagamaan yang masih minim di sebagian kalangan, tidak sedikit masyarakat yang mudah tunduk pada simbol keagamaan tanpa menyelidiki isi dan niat di baliknya. Oknum ini memanfaatkan situasi tersebut untuk perlakuan istimewa dari pengikutnya. Padahal, tidak semua yang bersorban itu benar, dan tidak semua yang berbicara tentang agama punya niat baik.
Penyebab feodalisme agama di Indonesia tumbuh subur karena banyak masyarakat lebih takut pada tokoh agama daripada kepada Allah. Mereka lebih patuh pada manusia yang dianggap “Suci” daripada belajar dan mencari tahu sendiri ajaran Islam yang benar. Akhirnya, Islam yang seharusnya membawa kebebasan, malah dijadikan alat untuk menakut-nakuti dan mengendalikan orang lain.
Feodalisme ini membuat orang segan bertanya atau mengkritik karena Ketika seseorang berani mengkritik ia langsung dianggap menghina ulama atau menistakan agama. Padahal kritik terhadap oknum bukan berarti benci pada Islam justru sebagai bentuk cinta terhadap kemurnian ajarannya.
Padahal, Islam tidak mengenal kasta. Rasulullah SAW sendiri tidak suka diperlakukan berlebihan. Beliau hidup sederhana, duduk bersama orang biasa, dan tidak pernah minta dihormati seperti raja.
Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah kalian memujiku secara berlebihan sebagaimana orang-orang Nasrani memuji Isa putra Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah: Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari, no. 3445)
Begitupula dalam firman Allah SWT terkait larangan menyekutukan Allah dalam bentuk apa pun:
“Dan janganlah kamu menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudarat kepadamu. Jika kamu berbuat (yang demikian itu), maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Yunus: 106)
Dalam Islam, semua manusia itu sama, yang membedakan hanya takwa. Jadi, kalau ada yang minta diperlakukan seolah-olah lebih tinggi dari orang lain, bahkan seperti Tuhan, itu sudah keluar dari ajaran Islam yang sebenarnya. Kita harus berani berpikir kritis dan kembali pada ajaran Islam yang murni dan adil.